tag:blogger.com,1999:blog-11821576979296878852024-03-14T12:43:40.934+07:00Pembelajar AlamiLife Free, Learn FreeAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.comBlogger33125tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-61047563136213216942013-07-19T15:34:00.001+07:002013-07-19T15:37:55.181+07:00Dilema Pendidikan : Teori versus Praktek<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sebuah artikel di Amerika baru-baru ini melaporkan bahwa
para mahasiswa memasuki fakultas kedokteran dengan empati dan semangat untuk
menolong orang lain namun lulus dari studinya dengan membawa sifat dingin dan
acuh tak acuh.</div>
<div class="MsoNormal">
<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Hal ini mungkin merupakan refleksi dari pola pendidikan
kedokteran umumnya yang terdiri dari 2 tahapan pendidikan. Tahap pertama
pendidikan mereka seperti layaknya sekolah pada umumnya : kuliah, buku-buku
teks, serangkaian tes akademik. Umumnya para mahasiswa tersebut melalui tahap
ini dengan baik, karena hal-hal seperti ini sudah familiar bagi mereka.Mereka
sudah mengenalnya sejak di bangku taman kanak-kanak.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNIMKhgJuKTi_RG18k5kzjSZOZurltFK16ZwFZnhf0vYati61hzbw3myFx5ZqtEiYS2SMSeKytA-fp0Hh13ymIPf-xlY0ro6QApQBKNJD4fJGp2PoMJNz_LNZqVRbz4CtJRTWiFZiO_I0/s1600/Image+teori+vs+praktek.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="277" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNIMKhgJuKTi_RG18k5kzjSZOZurltFK16ZwFZnhf0vYati61hzbw3myFx5ZqtEiYS2SMSeKytA-fp0Hh13ymIPf-xlY0ro6QApQBKNJD4fJGp2PoMJNz_LNZqVRbz4CtJRTWiFZiO_I0/s320/Image+teori+vs+praktek.png" width="320" /></a></div>
<br />
Nah, masalah dimulai ketika memasuki Tahap Kedua dari
pendidikan mereka, dimana ada perubahan paradigma secara tiba-tiba dari
pendidikan berbasis pengetahuan/teori (<i>knowledge based education</i>) ke pendidikan
berbasis praktek (<i>practice based education</i>).</div>
<div class="MsoNormal">
<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Saat memasuki Tahap Kedua pendidikan mereka telah dibekali
dengan pengetahuan (teori) yang cukup kaya namun tidak cukup terdidik untuk
bagaimana mengaplikasikan pengetahuan mereka tersebut.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Namun tidak ada waktu untuk mundur, mereka harus melakukan
praktik kerja tersebut dengan mengabaikan isu kelangkaan suplai, isu seputar
asuransi (USA menggunakan sistem asuransi dalam pelayanan kesehatan),
mengesampingkan kenyataan bahwa pasien harus didekati dengan pendekatan
berbeda, adanya kesalahan medis dan lain-lain yang terkait dengan permasalahan
dunia kedokteran sehari-hari.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Permasalahan serupa juga dialami oleh mahasiswa hukum.
Sekolah hukum disana menghadapi masalah besar dalam merekrut calon mahasiswa
yang berkualitas sementara lapangan kerja bidang hukum sudah sangat jenuh. Akar
masalahnya sama : sistem pengajaran yang tak menyentuh dunia nyata.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Bahkan pendidikan keguruan tidak terkecuali. Kurikulum
umumnya dirancang dengan memasukkan kuliah pada bidang ilmu yang akan diajarkan
kelak, psikologi pendidikan, dan cara bagaimana mengajar. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
"Kurikulum pendidikan guru membingungkan, tidak ada
hubungan antara pengetahuan akademis dan pengetahuan praktis " kata Arthur
Levine mantan Dekan Fakultas Keguruan Universitas Colombia.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Melihat contoh diatas sepertinya pendidikan profesi (dokter,
insinyur, pengacara, guru, dll) menghadapi masalah yang hampir sama : Bagaimana
cara universitas menyiapkan mahasiswa untuk kebutuhan tenaga kerja Abad 21
tanpa mengabaikan misi utama pendidikan mereka?<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Menurut Michael Lindsey, president of Gordon College :
"Kita harus membekali mahasiswa dengan kemampuan berpikir holistik"<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Perguruan Tinggi dapat melakukannya dengan mendorong
mahasiswa untuk mengeksplorasi dunia kerja atau profesi mereka , menyadari
bahwa memisahkan teori dengan praxis akan merugikan keduanya.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Beberapa program profesi menempuh berbagai cara untuk
menjembatani jurang teori dengan praktek ini. Sekolah kedokteran merombak
kurikulum mereka dengan membekali pengalama praktek di klinik yang lebih dalam
dan meluas. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Begitu pula sekolah hukum, mereka menggabungkannya dengan
klinik hukum yang mencakup hukum lingkungan, hukum publik, hukum pidana, dll.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Hanya saja penggabungan seperti itu berbiaya tinggi dan
umumnya diterapkan pada masa-masa terakhir pendidikan profesi.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Disatu sisi keuntungan terbesar penggunaam <i>virtual
environment</i> adalah rendah biaya, serta terdapat potensi yang luar biasa besar
untuk memadukan aspek teori dan praktek
mulai pada tahap awal pendidikan.<o:p></o:p></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Maka menggunakan <i>virtual environment</i> sebagai cara untuk
magang dan mendapatkan pengetahuan praktis, tampaknya berada diambang pintu
(***)<o:p></o:p></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-35414364691068487682013-04-30T15:58:00.000+07:002013-04-30T16:00:17.766+07:00Saya Tidak Sekolah, Saya Bekerja<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kalimat tersebut adalah jawaban anak saya ketika dia ditanya
seseorang : sekolah dimana? Sebenarnya itu pertanyaan lumrah dan normal yang
ditujukan untuk anak seusia anak saya yang baru menginjak 14 tahun (2012). Yang
barangkali tidak lumrah adalah memang keseharian anak saya, diusia tersebut
ketika anak lain bersekolah SMP, anak saya sudah bekerja pada bidang yang
memang dia tekuni : komputer, </span><i style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">programming</i><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">
dan </span><i style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">3D Modelling</i><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Bagaimana bisa seperti itu? Hal ini menjadi mungkin karena
kami menganut <i>home education</i> dengan
gaya <i>unschooling</i>. Alih-alih mengikuti
kurikulum yang rigid, saya membebaskan mereka untuk mempelajari apa saja yang
mereka mau dan penting bagi mereka. Anak anak saya tidak akan dipaksa untuk
mempelajari sesuatu yang tidak mereka mau atau mereka anggap tidak penting.
Saya menganut apa yang John Dewey katakan bahwa sekolah adalah kehidupan itu
sendiri dan bahwa anak-anak menjalani kegiatan yang otentik dan nyata.<o:p></o:p></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwLfVHAkM7oUJ2KthWNB5UVjjE9UBYks4RZCF7DHODiJebfV0yyJLa44fYhGjUg7moiud9KUgwW4kCuZ-0xV5hNg785we9EdqdcxptVcB4DYQ6CQ_L0WjOvUffZ106UqkI6qgm97QqL4Q/s1600/Battle.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwLfVHAkM7oUJ2KthWNB5UVjjE9UBYks4RZCF7DHODiJebfV0yyJLa44fYhGjUg7moiud9KUgwW4kCuZ-0xV5hNg785we9EdqdcxptVcB4DYQ6CQ_L0WjOvUffZ106UqkI6qgm97QqL4Q/s320/Battle.jpg" width="320" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Saya percaya bahwa kekuatan terbesar sebuah pembelajaran
adalah ketika anak-anak mengikuti hasrat (<i>passion</i>)
mereka dan mempelajari apa yang mereka anggap penting. Jadi saya katakan pada
anak-anak saya pelajari apa-apa yang dilakukan oleh orang dewasa dan lihat
bagaimana mereka mempelajarinya. Nah, ketika anak-anak usia sekolah mempelajari
pelajaran yang disiapkan oleh kurikulum mereka, anak saya melihat hal yang <i>cool </i>yang dilakukan oleh orang dewasa
yang mereka lihat di TV atau lingkungan sekitar. Untuk anak tertua saya, dia
tertarik pada game dan lalu berusaha mencari tahu bagaimana sebuah game dibuat?
<i>Tool</i> apa yang digunakan? Mulailah dia
berkenalan dengan dunia pemrograman dan pemodelan 3 dimensi (3D).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Nah, ketika teman sebayanya sibuk dengan PR mereka, segala
macam les, dan –tentu saja- persiapan UN, anak saya sibuk dengan bagaimana
membuat model orang, pesawat terbang, senapan, pistol, kapal, tank, rumah, dan
lain-lain. Bagaimana membuat sebuah program untuk menjalankan itu semua, dan
pada saat bersamaan dengan itu dia membangun portofolionya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Jadi tidak aneh ketika kesempatan itu tiba, sebuah pekerjaan
yang ternyata mensyaratkan skill yang dibawah kemampuan dia yang sebenarnya,
dia bisa melakukannya. Terpapar pada dunia kerja yang sebenarnya, kehidupan
yang sebenarnya, saya yakin dia akan mempelajari lebih banyak hal lagi. Dan itu
adalah sekolah yang sesungguhnya (<b>###</b>)<o:p></o:p></span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-46480738490958439022013-04-25T10:42:00.000+07:002013-04-25T10:47:50.714+07:00Belajar Agama Cara Unschooling-3 : Tentang Al-Qur'an<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8nZSacp_c2bkLbVQ0nykehXwXvSeRRCMKX6k5jHj4gQQULlfqd6vhQaR2Quv3ZXmB3EINKRSSo394HtiYgsqTbyzSFCukVAeYlk1SQFeoCCa8-WLStSBeazNd5mpLW_rVPdMaKUWwmyg/s1600/laba-ws.blogspot.com_National_Geographic_Dec.2009_0007.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8nZSacp_c2bkLbVQ0nykehXwXvSeRRCMKX6k5jHj4gQQULlfqd6vhQaR2Quv3ZXmB3EINKRSSo394HtiYgsqTbyzSFCukVAeYlk1SQFeoCCa8-WLStSBeazNd5mpLW_rVPdMaKUWwmyg/s320/laba-ws.blogspot.com_National_Geographic_Dec.2009_0007.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">Pada bagian-2 dari tulisan ini saya menyinggung
tentang melibatkan Allah dalam pendidikan anak-anak kita (sesungguhnya
pendidikan bagi kita yang dewasa juga). Saat mencoba untuk melibatkan Allah,
tentu yang terbayang adalah bagaimana caranya? Caranya tentu saja dengan cara
yang umum yang Dia isyaratkan sendiri : melalui Al-Qur’an. Semua Muslim tentu
saja tahu hal ini, namun selayaknya </span><i style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">unschooler</i><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">
saya cenderung tidak nyaman dengan cara kebanyakan Muslim bersikap terhadap
Al-Qur’an. Karena itu anda akan menjumpai pemikiran saya yang mungkin berbeda
dari yang biasanya kita ketahui. Tetapi saya tak hendak membuat kontroversi,
sesungguhnya apa yang saya ungkap itu sudah ada dalam khazanah keislaman sejak
dulu, tetapi entah kenapa pandangan yang agak “berbeda” ini tidak populer.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Jadi cara berkomunikasi dengan Allah yang saya maksud
adalah upaya berinteraksi dengan Al-Qur’an semaksimal mungkin seperti yang
dilakukan para sahabat dan <i>salafusshalih</i>.
</span><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Untuk memahami
Al-Qur’an bacalah Al-Qur’an lebih dulu, bukan tafsir Al-Qur’an.<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Umumnya sebagian besar kita memperlakukan Al-Qur’an
lebih sebagai sarana untuk mendulang pahala dan mengharap berkah belaka tanpa
berupaya memahami artinya. Sayangnya terlalu besar menaruh perhatian pada
urusan ini, membuat abai terhadap tujuan utama diturunkannya Al-Qur’an :
sebagai petunjuk bagi kita. Bagaimana ia bisa menjadi petunjuk kalau kita tak
paham dengan apa yang dibaca?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Mengapa yang dibaca terlebih dahulu adalah Al-Qur’an
dan bukan tafsir Al-Qur’an? Karena memang itulah yang diperintahkan. Para
sahabat membaca Al-Qur’an semampu yang mereka pahami, walaupun keahlian mereka
dalam memahami berbeda. Tidak semua sahabat berkemampuan seperti Ibnu Abbas ra
atau Ibnu Mas’ud</span><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US;"> ra</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">, toh tidak </span><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US;">menghalangi mereka untuk mencoba memahami
Al-Quran.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US;">Saya juga berkeyakinan bahwa
interaksi dengan Al-Quran secara langsung akan memberikan pemahaman yang <i>genuine</i>. Saya menerka-nerka bahwa
peluang untuk berbeda cara memahami dan berinteraksi ini memang dibiarkan oleh
Rasulullah SAW. Sebab kalau tidak tentu pemahaman akan Al-Quran ini seragam,
tidak ada lagi tafsir Ibnu Abbas, tidak ada lagi tafsir Ibnu Masud? <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US;">Jadi langkah praktis yang kami
lakukan adalah membaca Al-Quran beserta artinya (terjemahan standar yang
diakui/sah) dan mencoba memahaminya dan merenunginya sedapat yang bisa
dilakukan. Kalau kemudian ada beberapa kata spesifik yang kita tidak paham
artinya atau butuh penjelasan barulah kita merujuk pada tafsir terpercaya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US;">Untuk
memahami Al-Quran bacalah dalam shalat terutama shalat malam.<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<b><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US;"><br /></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US;">Inilah cara baca Al-Quran yang paling
utama. Hal ini pula yang diterapkan oleh para sahabat. Tentu saja bacaan
tersebut harus disertai dengan pemahaman akan arti ayat-ayat yang dibaca. Jamak
bagi para sahabat untuk mengkaji, mencari tahu ayat yang belum dipahami, dan
membaca sejumlah ayat tertentu dari Al-Quran pada siang harinya, dan
menggunakan malam hari terutama saat sholat malam sebagai sarana untuk merenungi
makna-makna Al-Quran. Disaat sholat malam itulah Allah SWT, insyaallah akan
menurunkan pemahaman dalam dada kita, memberbaiki kelemahan kita, meninggikan
derajat kita, memuliakan kita.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US;">Secara praktis saya menyarankan untuk
membagi Al-Quran yang kita hapal (berapapun itu) menjadi 7 bagian. Mengkaji 1/7
bagian diwaktu siang dan merenungi maknanya diwaktu malam. Setiap kali hapalan
bertambah selalu organisasikan lagi menjadi 7 bagian. Dengan cara begini maka
waktu sholat malam kita dengan mambaca Al-Quran yang kita hapal akan selalu
bertambah. Awalnya 1/8 juz setiap malam, menjadi 1/6 juz, 1/4 juz, 1/2 juz, 1
juz . . . . dan akhirnya jika kita teladani para sahabat, maka kita akan
mengkhatamkan Al-Quran dalam sepekan lengkap dengan perenungannya (<i>tadabbur</i>).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US;">Saya berkeyakinan melalui interaksi
dengan Al-Quran seperti yang ditunjukkan olehNya, diteladankan oleh Rasulullah
SAW dan para sahabatnya, maka Allah SWT sendiri yang akan memahamkan makna
Al-Quran, dan Dia sendiri pula yang akan menyempurnakan kita (<b>###</b>)<o:p></o:p></span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-25713368375026261692012-01-13T20:50:00.001+07:002012-01-13T20:50:49.190+07:00Apakah Agama Masih Diperlukan?<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;">Saya
tidak bermaksud menggugat peran agama disini. Ungkapan judul di atas tak lebih
dari upaya mencari jawaban jika muncul pertanyaan itu, terutama dari anak-anak
saya, dan terutama karena kekuatiran mereka akan kehilangan iman baik
terang-terangan atau diam-diam. Saya terinspirasi oleh Prof. Jeffrey Lang,
seorang matematikawan Amerika yang semula beragama Katolik, menjadi atheis,
lalu kemudian menjadi seorang Muslim. Dalam upayanya menjelaskan Islam pada
anaknya kelak (saat itu), dia telah membuat serangkaian tulisan yang tak
dinyana menjadi malah menjadi buku : Bahkan Malaikat Pun Bertanya, Berjuang
Untuk Berserah, Aku Beriman Maka Aku Bertanya, Aku Menggugat Maka Aku Kian
Beriman.</span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Verdana, sans-serif;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Verdana","sans-serif";">Bagi
saya, cara Sang Profesor mengimani Islam dan upayanya untuk menjadikan Islam
untuk menjawab tantangan jaman, sangat menarik. Harus diakui cara kita
mengajari anak kita atau mengajak orang lain untuk lebih taat, cenderung
condong kepada klaim atas keselamatan di akhirat kelak. Walaupun agama memang
diturunkan antara lain untuk keselamatan hidup sesudah mati (yang jauh lebih
penting dibanding hidup kita saat ini), tetapi tentu untuk keselamatan dunia
saat ini juga. Apa bukti bahwa agama dipahami sebagian besar berdasar klaim
keselamatan akhirat? Marilah kita tanya pada diri kita apa yang membuat kita
beragama? <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Verdana","sans-serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Verdana","sans-serif";">Orang
Islam akan mengatakan supaya masuk surga (selamat di akhirat) karena tidak ada
agama yang diridhio Allah kecuali Islam. Orang Kristen akan mengatakan tidak ada
jalan keselamatan kecuali melalui Yesus. Nah, karena bagi sebagian besar kita
akhirat itu masih kelak, tak nyata saat ini, kita cenderung gagal memaknai
peranan agama dalam keseharian hidup kita. Tak percaya? Ajukan pertanyaan
sederhana (tapi tolong jawabannya bukan yang berhubungan dengan pahala atau
surga): Apa manfaat kita sholat? Apa manfaat berbuat baik? Bahkan mungkin lebih
subversif : Apa manfaat menyembah Allah?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Verdana","sans-serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Verdana","sans-serif";">Ketidakmampuan
(atau ketidakberanian) mengajukan pertanyaan semacam itu dan menemukan
jawabannya, dapat membuat kita diam-diam tak merasa butuh atau malah tak percaya
agama (contohnya : banyak orang yang tak menjalankan kewajiban agamanya).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Verdana","sans-serif";">Masalah
terbesar yang dihadapi agama manapun, adalah pertanyaan atas relefansinya. Mengapa?
Pertanyaan atas relefansi mudah membuat orang kehilangan imannya. Di Eropa ada <i>renaissance</i> (yang katanya pencerahan
dari kegelapan agama), sekularisasi, orang cenderung menjadi atheis atau paling
tidak “bukan orang taat”. Jika memang agama itu mengajarkan kedamaian mengapa
yang terjadi justru perang antar agama, atau bahkan antar pemeluk agama yang
sama? Ada Perang Salib, perang antar Kristen-Katolik, perang antara
Sunni-Syiah, dan seterusnya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Verdana","sans-serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Verdana","sans-serif";">Dalam
tayangan di kanal History, <i>Greatest Tank
Battle</i>, ada komandan tank Jerman yang kemudian tak percaya lagi pada Tuhan,
bahkan setelah ia selamat berkali-kali dari tembakan langsung yang mengenai
tank-nya. Logikanya <i>khan </i>ia harusnya
berterima kasih pada Tuhan karena telah diselamatkan nyawanya. Tetapi yang
terjadi sebaliknya. Sebab katanya bagaimana mungkin bisa terjadi ia (yang
Kristen) berdoa pada Tuhan agar ia bisa mengalahkan tank Rusia, sementara pada
saat yang sama si Rusia (yang juga Kristen) berdoa pada Tuhan yang sama agar
bisa mengalahkan tank Jerman! Bagaimana mungkin Tuhan membiarkan hal ini
terjadi? Atau mungkin kita pernah mendengar cerita orang yang kehilangan iman
karena mendapat cobaan yang sangat berat. Kalau orang yang diam-diam sebenarnya
tidak mempunyai iman sih, banyak kita jumpai disekitar kita.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Verdana","sans-serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Verdana","sans-serif";">Di
jaman ini, pertanyaan semacam itu sangat mungkin tercetus oleh anak-anak kita.
Dan, kadang jawaban yang berbau klaim <b>kebenaran
primordial</b> tak banyak membantu. Jadi saya mencoba sekuat tenaga mencari
jawaban atas pertanyaan itu yang tak berbau klaim kebenaran primordial.
Kadang-kadang jawaban berbau kebenaran primordial agak terlalu disederhanakan.
Misalnya apa yang harus kita jawab jika anak-anak bertanya : mengapa kita harus
sholat? Jawaban yang paling mudah adalah : karena hal itu diperintahkan oleh Allah.
Tentu saja jawaban itu benar adanya, tetapi menurut saya tidak cukup. Jawaban seperti
itu menurut saya membuat anak berpikir (sadar atau di bawah sadarnya) bahwa
Allah memerlukan sholat kita, bahwa Allah perlu disenangkan dengan semacam “upeti”.
Padahal sebenarnya Allah tidak butuh semua itu, kitalah yang membutuhkan
sholat. <i>So</i>, kalau kita katakan
kitalah yang butuh sholat, bisakah kita jelaskan dengan tuntas apa manfaat
sholat itu? <b>Apa perbedaan nyata yang
kita alami sebelum dan sesudah sholat? </b>Kalau ternyata kita tak mampu
menjawabnya, maka diam-diam sebenarnya kita telah mempertontonkan bahwa tidak
ada beda antara sholat dan tidak sholat! Kecuali tentu bahwa paling tidak kita
tak berdosa, namun masalahnya kok berani-beraninya kita merasa sholat kita
diterima? Bukankah Rasulullah SAW mengisyaratkan ada orang yang sholatnya
sia-sia,yang berarti tidak diterima alias tak sholat di mata Allah?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Verdana","sans-serif";"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "Verdana","sans-serif";">Kembali
ke judul di atas bisakah kita menjawab pertanyaan itu? Saya pikir mencari
jawaban atas pertanyaan itu –beserta pertanyaan turunannya, merupakan pencarian
sepanjang hidup. Ia merupakan upaya terus menerus untuk mengenal Sang Khalik,
sesuatu yang perlu dikenalkan pada anak-anak kita(###)<o:p></o:p></span></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-28221515138750118182012-01-12T07:23:00.001+07:002013-04-12T09:45:53.513+07:00Belajar Agama Cara Unschooling-2 : Melibatkan Allah<span style="text-align: justify;">Apa yang kita lakukan agar
anak-anak memahami Islam? Jawaban pastinya adalah memasukkan ke sekolah dimana
porsi pelajaran agamanya banyak. Atau bagi </span><i style="text-align: justify;">homeschooler</i><span style="text-align: justify;">,
merancang kurikulum pembelajaran mandiri yang syarat nilai-nilai agama. Bagi
kami, semua itu baik. Tetapi itu </span><i style="text-align: justify;">kok</i><span style="text-align: justify;">
rasanya ada yang kurang pas (mungkin sudah bawaan bagi </span><i style="text-align: justify;">unschooler </i><span style="text-align: justify;">untuk selalu mempertanyakan hal-hal yang dianggap sudah mapan).</span><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Terus terang saat mencoba untuk
merancang kurikulum semacam itu, ada rasa mengganjal di hati, seolah-olah
dengan kurikulum canggih itu agama anak-anak kami akan selamat. Kami merasa
bertumpu terlalu besar pada kurikulum agama. Kemudian muncul pertanyaan yang
dilatari oleh keawaman kami dalam hal agama : masak <i>iya</i> di masa Rasulullah SAW, anak-anak itu (atau orang dewasa)
diajari Islam dengan cara itu? Dengan menargetkan hapalan ayat Al-Qur’an,
diajari amalan-amalan Islam yang begitu banyak diusia begitu dini? Maafkan
keawaman kami, tetapi kami merasa, rasanya kok terlalu berlebihan untuk
anak-anak.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sebagai Muslim tentu kami merasa
bahwa segala sesuatu terjadi karena kehendak Allah. Tetapi dibagian mana dalam
kurikulum pelajaran agama itu ada porsi melibatkan Allah? Kami yakin saudara-saudara
kami sesama Muslim ada yang sedemikian dalam pengetahuannya soal bagaimana
mendidik anak sesuai Islam, tetapi kami belum menemukan bagian dimana ada
porsi, atau upaya sungguh-sungguh untuk melibatkan Allah. Semakin canggih
kurikulumnya kok terasa makin dalam kami tergantung pada kekuatan sendiri.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Kegelisahan itu bermula saat kami
membaca (QS 81 : 28-29), bahwa sekalipun kita menghendaki menempuh jalan lurus,
kita tidak akan mampu menghendaki kecuali atas kehendak Allah. Bahkan untuk
sekadar berkehendak kita tidak mampu! Jadi, rasanya kalau kita <b>berkehendak</b> agar anak-anak kita menjadi
baik, semua itu tak akan bisa tanpa keterlibatan Allah. Maka kami merasa logis
sekali kalau sebelum merancang metode untuk menjadikan anak-anak ber-Islam
dengan baik, yang terlebih dahulu diupayakan adalah melibatkan Allah, agar Ia
berkenan menjadikan kita orang Islam yang baik.</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Perenungan lebih lanjut membawa
kami pada kesadaran bahwa ternyata <b>upaya
utama dalam pendidikan anak adalah dengan kesadaran penuh mencoba untuk
melibatkan Allah</b>. Berikut ini beberapa ayat yang kami dapat untuk
memperoleh gambaran bahwa ternyata tanpa terasa kita “melupakan peranNya”. </div>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -18.0pt;">
</div>
<ul>
<li><span style="text-indent: -18pt;">Bahkan untuk bisa menghindar dari berbuat keji
dan mungkar kita perlu Allah (QS 24 :21).</span></li>
<li><span style="text-indent: -18pt;">Sekadar mendapat petunjuk pun kita perlu Allah
(QS 18 : 17)</span></li>
<li><span style="text-indent: -18pt;">Bahkan untuk beriman pun kita perlu Allah (QS 10
: 99-100)</span></li>
<li><span style="text-indent: -18pt;">Ia memberi petunjuk pada orang yang Ia ketahui
mau menerima petunjuk (QS 28 : 56)</span></li>
</ul>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Mungkin secara global kita paham
bahwa tentu Allah terlibat setiap aspek kehidupan kita, tetapi untuk urusan <i>tetek bengek </i>kurikulum pendidikan anak seperti itu?
Mungkin sebagian rekan akan mengatakan bahwa Dia terlibat bahkan untuk urusan <i>tetek bengek </i>apapun, sebab bukankah
setiap helai daun yang jatuh pun karena kehendakNya?</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Namun kalau mau jujur, biasanya
untuk urusan apa kita biasanya berdoa? (meminta keterlibatanNya?). Nyaris
hampir sebagian besar kita melibatkan Allah untuk urusan yang kita anggap besar,
misalnya : utang bertumpuk, penyakit berat yang kita derita, meminta lulus UN,
minta rejeki yang banyak, dan seterusnya. Kemudian pernahkan kita mengadu
padaNya untuk urusan seperti ini : sendal jepit kita putus, anak kita gak mau
diatur, kok gak bisa bangun pagi untuk sholat subuh, kok gak kunjung bergetar
saat namaNya disebut, dst-nya . . . . . . . . .</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Sedihnya, karena keawaman kami,
sumber kurikulum pendidikan terbesar sudah sejak lama ada di depan kami. Tetapi
kami mengabaikannya : Al-Qur’an Al-Karim. Allah SWT berbicara dan mendidik kami
dengan sarana ini, tetapi kami tidak kunjung memahami ayat-ayat tersebut. Allah
terlibat dalam pendidikan kita –berarti juga pendidikan anak-anak kita- (QS 96
: 5), (QS 16 : 78). Kepada lebah pun (QS 16 : 68), pada seorang ibu (QS 28 : 7).</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Baiklah, kita libatkan Allah?
Tetapi bagaimana caranya? Saya akan uraikan apa yang saya dapat pada tulisan
saya selanjutnya. Kali ini saya ingin mengajak untuk bersama-sama memohon
sungguh-sungguh padaNya. Lho, apakah selama ini kita tidak sungguh-sungguh
memohon padaNya? Jawabnya iya! Marilah kita ukur diri kita masing-masing.
Sesungguh apa saat kita meminta dalam pertengahan Surat Al-Fatihah dalam sholat
kita? Sesungguh apa kita meminta pada doa dalam duduk diantara dua sujud kita?
Apakah itu mengalir begitu saja, atau bahkan sebenarnya hati kita tak pernah
memintanya, dan ucapan doa itu berlalu begitu saja <i>saking dari hapalnya</i>?</div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
Bahkan untuk urusan meminta
padaNya pun telah diajarkanNya pada kita, namun alangkah sering kita
menyia-nyiakannya.(<b>###</b>)</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-17850605320870411812011-12-18T19:05:00.003+07:002013-04-12T09:46:57.091+07:00“Belajar Agama” Cara Unschooling-1Apakah agama diajarkan? Berlawanan dengan apa yang dijalankan di sekolah atau seperti keyakinan banyak orang, saya berpendapat bahwa agama tidaklah seharusnya “diajarkan”. Mengapa? Saya melihat bahwa tidak ada relevansinya antara pengajaran agama dengan output yang diharapkan dari orang telah belajar agama.<br />
<br />
Di IAIN agama diajarkan dalam porsi lebih besar dari rata-rata, tapi saya lihat pergaulan mahasiswanya tidak beda sama orang yang tidak tahu agama. Jamaah haji Indonesia yang terbesar di dunia, dan antrian yang untuk berhaji sudah mencapai hitungan lebih dari 5 tahun, tetapi Indonesia termasuk 5 besar negara terkorup di dunia! Kementrian Agama yang mestinya paling bersih dan paling tinggi indeks integritasnya justru menempati peringkat atas kementrian terkorup di Indonesia. Di komplek saya banyak anak-anak yang bersekolah di sekolah Islam terpadu, tetapi masjid kami diisi kebanyakan oleh orang tua yang sudah pensiun. Lha, yang dipelajari oleh anak-anak di sekolah itu apa, ya? Televisi kita banyak menyajikan acara-acara dakwah, masjid kita banyak, tetapi perilaku kebanyakan kita?<br />
<br />
Jadi terus terang saya gagal menangkap relevansi pembelajaran agama dengan perilaku kebanyakan dari kita. Agama diajarkan hanya mempertimbangkan aspek kognitif, pembiasaan kebiasaan baik berbau <i>fait a complii</i> miskin penghayatan iman. Pelajaran agama seolah-olah sudah diberikan jika anak sudah hapal beberapa surat tertentu dari Al-Qur’an, sudah terlihat melaksanakan sholat wajib dan sholat sunnah di sekolah, sudah hapal doa-doa harian, melakukan wirid sehabis sholat, dan seterusnya. Kesimpulan saya bahkan apa yang dilakukan anak-anak itu, kalau dilakukan oleh orang dewasa, ia bakal dikenal sebagai orang alim.<br />
<br />
Tetapi, kembali ke pertanyaan di awal, kemana anak-anak itu saat adzan sholat shubuh dan isya? (yang saya tahu paling tidak mereka ada di rumah, jadi mestinya bisa hadir di masjid). Ada yang salah dengan pola pengajaran agama kita.<br />
<br />
<b>Standar Kompetensi</b><br />
<br />
Karena tahu bahwa pelajaran agama tidak menghasilkan yang seharusnya, saya tidak mau memakai standar kompetensi sekolah pada umumnya. Jangan salah bukannya tidak bagus, standar kompetensi sekolah sangat bagus. Hanya saja saya melihat bukan begitu seharusnya agama “diajarkan”. <b>Agama bukan diajarkan, ia seharusnya dicontohkan dan dirasakan kehangatan imannya</b>. Jadi menurut saya sebagus apapun ia diajarkan di sekolah, tetapi saat di rumah dan di masyarakat mereka tidak melihat bahwa agama itu berguna, sia-sia pembelajaran itu.<br />
<br />
Bagi kami tak soal berapa ayat Al-Quran yang dihapal, berapa doa yang dihapal, berapa macam bentuk ibadah yang dikenal, selama ia mampu merasakan kehangatan iman, selama ia mampu merespon panggilan adzan tanpa keterpaksaan atau pewajiban oleh orang lain, selama akhlaknya baik karena ia merasa nyaman melakukan itu (bukan karena ada lembar yang harus mereka isi) tidaklah menjadi masalah.<br />
Jadi standar kompetensi (kalau mau disebut begitu) bagi saya sederhana saja. Bagaimana responnya soal sholat? Mereka harus bisa sholat karena mereka butuh, bukan karena harus memenuhi isian sekolah, meraka membaca Al-Qur’an karena merasa nikmat membacanya lalu merenungi maknanya dan bukan karena harus memenuhi target tilawah harian.<br />
<br />
<b>Pencarian Bersama</b><br />
<br />
Seringkali karena merasa kurang mampu mengajari anak kita tentang agama, kita mendatangkan guru mengaji, atau mengirim mereka ke lembaga lain (pesantren, sekolah Islam). Bagi saya ini aneh, sebab kalau misalnya untuk menjadi orang Islam yang baik kita merasa harus mengirim anak kita ke pesantren, mengapa hal yang sama<b> tidak kita lakukan pada diri kita</b>? Bukankah ini urusan yang sangat besar, menyangkut hidup mati, dan kehidupan kita kelak di akherat?<br />
Atau misalnya untuk menjadi orang Islam yang baik kita harus bisa membaca Al-Qur’an, kenapa yang hal yang sama tidak kita terapkan pada kita. Kenapa kita mendatangkan guru untuk mengajari anak kita, sementara hal yang sama tidak kita lakukan pada diri kita?<br />
Khusus soal agama, menurut saya ia soal pencarian bersama antara kita dan anak kita. Jadi misalnya untuk soal Al-Qur’an, sebelum memutuskan untuk mendatangkan guru, kita sebaiknya menempa diri kita lebih dulu sehingga berada pada level bisa mengajarkan sendiri pada anak kita baik bacaan (<i>tahsin tilawah</i>), hapalan (<i>tahfidz</i>), tafsir, dan perenungan (<i>tadabbur</i>). Kenapa harus demikian? Karena faktor kegagalan pengajaran agama adalah karena tidak adanya konsistensi. Anak diharuskan membaca Al-Qur’an tapi orang tuanya tidak bisa membacanya, anak harus hapal Al-Qur’an tapi orang tuanya bertahun-tahun bahkan <i>juz amma</i> saja tidak hapal. Maka dalam benak anak kita tertanam : kalau nilai-nilai keagamaan itu memang penting, mengapa orang tua saya tidak melakukannya? Kenapa hal-hal itu tidak tercermin dalam keseharian perilaku keagamaan orang tua saya. Kenapa harus saya yang melakukannya?<br />
Bagaimana dengan kehangatan iman? Maka pertanyaan tersebut lebih dulu harus kita tanyakan pada diri kita sendiri? Apakah kita sudah memiliki kehangatan iman? Kalau kita sudah memiliki kehangatan iman, itulah yang harus kita contohkan pada anak kita. Bagaimana respon kita terhadap adzan? Apa yang kita lakukan untuk terus menerus berusaha mengenal Allah?<br />
Anak-anak<i> unschooling </i>akan merespon dengan baik soal nilai-nilai agama selama ia melihat hal serupa dilakukan terutama oleh orang terdekatnya. Kita tak harus mengajarkan apa-apa pada mereka, selama kita melakukan hal-hal tersebut, selama hal itu juga merupakan pencarian kita pribadi, maka<i> insyaallah</i> mereka akan melakukan hal serupa tanpa harus kita suruh-suruh, kita mungkin akan mengajari mereka, namun bukan karena pengharusan dari kita, melainkan karena mereka memintanya.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-43513859231707785712010-02-13T20:21:00.002+07:002013-04-12T09:47:44.560+07:00Apa Manfaatnya Bagiku<div style="text-align: justify;">
Inilah salah satu <span style="font-style: italic;">tools</span> dalam pembelajaran dengan <span style="font-style: italic;">Quantum Learning</span>. Pembelajaran kuantum mengharuskan adanya relevansi pembelajaran dengan manfaat tertentu yang bisa didapat setelah proses pembelajaran. Tentu agar pembelajaran bisa efektif. Maka setiap siswa diminta mengajukan pertanyaan retoris : Apa Manfaatnya Bagiku? Dalam buku <span style="font-style: italic;">Quantum Learning</span>-nya Bobbi De Porter disingkat menjadi AMBAK.<br />
<br />
Tentu saja saya setuju dengan prinsip-prinsip yang diajarkan para ahli tersebut. Namun dalam <span style="font-style: italic;">setting</span> sekolah? Nah, inilah yang saya ragukan. Pertanyaan itu bisa kita ajukan pada diri kita : manfaat apa yang bisa saya dapat jika saya belajar persamaan kuadrat, fungsi trigonometri, sistem koloid, penggolongan hewan bertulang belakang dengan tak bertulang belakang, menghitung azimut, sistem tata surya, mengenal kalimat aktif dan pasif ,dan lain sebagainya?<br />
Saya yakin kita akan kesulitan menjawabnya. Sebabnya? karena <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">semua bahan pelajaran itu dijejalkan dengan asumsi bahwa suatu saat kelak kita akan memerlukannya</span>.<br />
Jika kita yang mempelajari bahan pelajaran tidak tahu untuk apa manfaat suatu topik pada mata pelajaran tertentu, maka sebenarnya menurut prinsip pembelajaran kuantum, apa yang kita pelajari itu sebenarnya tidak efektif.<br />
Seandainya pertanyaan yang sama kita ajukan pada para guru kita, maka jawabannya kurang lebih akan sama : para guru pun tidak tahu, dan saya yakin pula para perancang pendidikan kita juga tidak tahu jawabannya.<br />
<br />
Jadi pertanyaan retoris : Apa Manfaatnya Bagiku? dalam <span style="font-style: italic;">setting</span> sekolah sebenarnya hanyalah menciptakan AMBAK semu. Dengan demikian akankah mata pelajaran itu menimbulkan kegairahan tertentu saat kita menekuninya?<br />
AMBAK sebenarnya dimaksudkan untuk memunculkan dorongan intrinsik pada diri kita, dorongan yang benar-benar dari dalam diri kita. Sehingga dengan demikian ada kegairahan untuk mempelajarinya dan karenanya pembelajaran akan berlangsung dengan efektif dan terakselerasi.<br />
Masalahnya semua pelajaran di sekolah sangat sulit untuk bisa membangkitkan dorongan intrinsik tersebut, sebabnya sangatlah sederhana : <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">semua bahan pelajaran itu dirancang oleh orang lain yang merasa bahwa semua bahan itu penting bagi kita.</span> Sebuah dorongan ekstrinsik! yang berlawanan dengan dorongan intrinsik tadi. Jadi ya, sebenarnya <span style="font-style: italic;">nggak</span> nyambung.<br />
<br />
Saya menemukan kutipan yang menarik dari Gartner tentang kecenderungan sekolah untuk : ” . . . . .<span style="font-style: italic;">emphasis of basic skill : three R’s (Reading, wRiting, aRithmatic), history, geography, science and an additional learning must be erected upon this solid basis : one must crawl before one can walk</span>”. Jadi sangatlah wajar kalau kemudian kita sangat sulit untuk menemukan AMBAK dalam kaitannya dengan pelajaran-pelajaran sekolah, apalagi kita tak menemukan keterkaitan antara apa yang kita pelajari dengan gambaran besarnya.<br />
Bagaimana mengkompromikannya? Maka sedapat mungkin yang kita lakukan adalah mengaitkan suatu topik pada mata pelajaran itu dengan sesuatu di luar sana, di luar gedung sekolah, yang benar-benar dipraktekkan oleh masyarakat. Bukan hal yang mudah memang, apalagi jika kita tidak benar-benar berminat pada suatu topik. Tapi, ya namanya juga kompromi.<br />
<br />
Ada <span style="font-style: italic;">nggak</span> jalan lain yang bukan merupakan sebuah kompromi? Ada! Yaitu, berangkat dari : pertama, <span style="font-weight: bold;">apa yang sebenarnya menjadi minat kita</span> dan kedua, <span style="font-weight: bold;">apa gambaran besarnya</span>. Kita mempelajari sesuatu karena memang minat kecenderungan kita ada pada hal itu, dan karena tahu apa muara dari sesuatu yang kita pelajari.<br />
Yang pertama (belajar karena minat) akan memunculkan kreatifitas yang, masih menurut Gartner dalam lingkungan belajar yang <span style="font-style: italic;">emphasis of creativity</span> adalah lingkungan belajar dimana tersedia : ”<span style="font-style: italic;">An opportunity for individual to invent knowledge on their own significant extend, to transform what has been encountered in the past, and even contribute new ideas</span>”<br />
Dan berlawanan dengan apa yang dipraktekkan di sekolah, lingkungan yang mengutamakan <span style="font-style: italic;">emphasis of creativity</span> akan cenderung untuk : “ . . .d<span style="font-style: italic;">ownplays basic skills, in the belief that there are <span style="font-weight: bold;">unnecessary</span>, that they will be acquired anyway, or that subject to focus only after an ambience of creative exploration</span>”<br />
Menurut saya sebuah lingkungan belajar dimana mata pelajaran yang kita pelajari d<span style="font-weight: bold;">itentukan oleh orang lain</span> yang merasa bahwa semua itu penting bagi kita, sangatlah sulit memunculkan kreatifitas karena memang <span style="font-style: italic;">emphasis of basic skill</span> yang berlawanan dengan <span style="font-style: italic;">emphasis of creativity</span> yang disyaratkan oleh Gartner itu.<br />
Lingkungan seperti ini akan cenderung memunculkan individu yang menunggu seseorang menyendokkan sesuatu ke mulutnya.<br />
<br />
Prinsip kedua (apa gambaran besarnya) akan memandu kita sepanjang proses pembelajaran dan menunjukkan muara dari apa yang kita pelajari itu.<br />
Berlawanan dengan apa yang lazim dilakukan sekolah, yang cenderung memulai suatu materi tanpa adanya kontek, hal pertama yang perlu kita lakukan adalah mencari sesuatu masalah atau topik apapun diluar sana dan membawanya untuk dicari detilnya.<br />
Ijinkan saya untuk menunjukkan contoh dari apa yang saya lakukan. Begitu tahu anak saya tertarik pada robot, kami bersama-sama berusaha untuk mencari keterkaitan antara apa yang menjadi minatnya itu dengan praktek sesungguhnya dari praktisi robotika. Kami mencari gambaran besarnya. Dari pencarian itu kami bisa menunjukkan padanya apa sesungguhnya teknologi robotika itu, apa aplikasinya, apa implikasi teknologi ini bagi masa depan kita dan bidang keilmuan apa yang terkait dengannya. Segera setelah itu kami dan dia jadi akrab dengan istilah-istilah dalam dunia robotika ini : apa itu kontrol, apa itu pemrograman, apa itu kinematika, apa itu dinamika, apa itu <span style="font-style: italic;">artificial intelegence</span>, apa itu <span style="font-style: italic;">behaviorial based programming</span>, apa itu navigasi pada robot, juga tentang <span style="font-style: italic;">embedded system</span>, <span style="font-style: italic;">microprocessor</span>, <span style="font-style: italic;">boolean logic</span>, dan seterusnya.<br />
Karena tahu gambaran besarnya ia bisa menentukan kira-kira dalam dunia robotika itu, akan menjadi apa ia? Dan ilmu apa yang harus tekuni?<br />
Setelah berkutat selama setahun dalam robotika, ia lebih tertarik dengan pemrograman robot. Saat ini ia mulai dengan Bahasa C.<br />
Bagi seorang anak yang dulunya mengidap <span style="font-style: italic;">Atention Deficit Dissorder</span> (ADD) dan sekaligus diduga kuat <span style="font-style: italic;">Dyslexia</span> (kesulitan berkaitan dengan pemaknaan huruf), sebenarnya bukan hal mudah bagi anak saya untuk mempelajari Bahasa C, tetapi karena ia tahu keterkaitan antara apa yang ia pelajari (AMBAK) dengan the real world outside there tak ada keterpaksaan dan kesulitan baginya. Bagi kita yang tak familiar dengan bahasa pemrograman, tulisan kode-kode ini jauh dari menyenangkan dan jauh dari bisa dibaca :<br />
<br />
<span style="font-size: 85%;"><span style="font-family: arial;"> int move_time, turn_time;</span><br /><br /><span style="font-family: arial;"> task main ( )</span><br /><span style="font-family: arial;"> {</span><br /><span style="font-family: arial;"> while (true)</span><br /><span style="font-family: arial;"> {</span><br /><span style="font-family: arial;"> move_time = Random (600);</span><br /><span style="font-family: arial;"> turn_time = Random (400);</span><br /><span style="font-family: arial;"> OnFwd (OUT_AC, 75);</span><br /><span style="font-family: arial;"> Wait(move_time);</span><br /><span style="font-family: arial;"> OnRev (OUT_A,75);</span><br /><span style="font-family: arial;"> Wait (turn_time);</span><br /><br /><span style="font-family: arial;"> }</span><br /><span style="font-family: arial;"> }</span></span><br />
<br />
Dan bagaimana pula jika yang melakukannya anak umur 11 tahun pengidap <span style="font-style: italic;">Dyslexia</span>?<br />
<br />
Menariknya, ilmu-ilmu dasar yang biasanya diajarkan di sekolah muncul bersamaan dengan saat kita berinteraksi dengan robot.<br />
Sebagai contoh saat anak kami belajar tentang navigasi robot, ia kesulitan membuat robotnya bergerak membentuk pola segitiga. Dari masalah inilah maka detil ia peroleh : bahwa sekadar memprogram robot agar bergerak dari satu titik ketitik yang lain secara tepat ia harus paham terlebih dahulu tentang teori lingkaran dan hubungannya dengan jarak, bahwa ia harus memperlakukan roda sebagai sebuah lingkaran . . . . . . bahwa posisi setiap titik bisa dinyatakan dalam bentuk Koordinat Cartesian . . . . bahwa memutar robotnya membentuk sudut tertentu harus terlebih dahulu memahami rumus-rumus trigonometri . . . juga Pithagoras . . . . .<br />
Bahwa ternyata ia harus memodelkan pergerakan roda robotnya sebagai sebuah Persamaan Linier . . . . .bahwa ia masih harus menguji persamaan matematisnya itu secara empirik . . . ia berkenalan sedikit dengan statistika.<br />
Dan semua itu dilakukan dengan penuh minat, karena semua ilmu itu <span style="font-style: italic;">make sense</span>, ia pelajari karena ia ingin permasalahan dalam pergerakan robotnya itu terpecahkan . . .<br />
Masih banyak lagi topik yang menunggu untuk dipelajari saat interaksi dengan robot tersebut : matrik, persamaan dan pertidaksamaan, Persamaan Laplace, Persamaan Lagrange, Jacobian, dan lain sebagainya . . . .<br />
Semua topik tersebut akan terasa mudah, karena muara dari susah-payah mempelajari sesuatu telah diketahui, dan kita telah bersedia untuk membayar semua konsekuensinya (###)</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-13341875251629145002010-01-23T21:20:00.002+07:002012-01-13T17:20:48.047+07:00The Next Scientist?<div align="justify">
Sebuah surat kabar memampangkan foto-foto para pemenang olimpiade fisika, matematika, dll . . . untuk menunjukkan pencapaian pendidikan kita dalam bidang ini di tahun 2009. Bangga juga melihat prestasi para pelajar itu, namun yang lebih menarik adalah tulisan dibawah foto-foto tersebut : the next scientist . . . . .<br />
Inilah salah satu dari serangkaian mitos-mitos pendidikan yang <strong>bisa</strong> menyesatkan. Benarkah ilmuwan dibentuk dari ketrampilan menjawab soal-soal olimpiade? Sejauh yang saya tahu salah satu ketrampilan yang harus dimiliki ilmuwan adalah <strong>mengajukan pertanyaan dan berusaha menjawabnya sendiri.</strong> Dan bukannya ketrampilan menjawab pertanyaan orang lain.<br />
Itulah yang dilakukan Newton ketika melihat apel yang jatuh, dia mengajukan pertanyaan, mengapa? Jawaban atas pertanyaan yang diajukannya sendiri melahirkan Hukum Newton yang terkenal itu.<br />
Itu pula yang dilakukan oleh Darwin ketika melihat hewan-hewan di Kepulauan Galapagos. Pencarian atas jawaban dari pertanyaan yang memenuhi kepalanya melahirkan Teori Evolusi.<br />
<br />
Tak satupun dari para ilmuwan itu dikenal karena kemampuan mereka menyelesaikan soal-soal fisika, biologi, kimia, matematika, atau yang lainnya . . . . . Tak juga para ilmuwan diseluruh dunia dibentuk dari serangkaian <em>drill </em>menjawab soal-soal latihan. . . . .<br />
Karena itulah saya berpendapat bahwa pernyataan <em>the next scientist</em> itu <em>misleading</em>.<br />
Kalau memang benar inovasi bisa dilahirkan dari proses-proses itu, maka kenapa pelajar-pelajar dari negara-negara yang maju dari segi sains tidak pernah mendominasi ajang olimpiade-olimpiade itu?<br />
Kenapa para pemenang nobel atau para penemu yang jenius tidak lahir dari negara yang pelajarnya kerap menjuarai olimpiade sains?<br />
Indonesia juga dikenal dengan kurikulum yang relatif berat untuk level yang sama dibanding misalnya, Amerika? Tapi kita tahu bersama bahwa Amerika yang kurikulumnya tidak ketat itu (dibanding kita) ternyata banyak melahirkan inovasi teknologi.<br />
<br />
Jadi inilah mitos itu. Bahwa generasi ilmuwan kita akan diproduksi dari kemampuan kita untuk melatih anak-anak itu untuk menjawab pertanyaan kita. Karena percaya mitos ini kita jadi abai terhadap cara-cara pengukur pemahaman. Howard Gartner sang pakar <em>multiple intelegencies</em> itu mengungkapkan bahwa untuk menguji pemahaman : “ . . . <em>nor repetition of information nor performance but application of concept and principles to question or problem that are newly posed</em>”<br />
Padahal seharusnya kita berusaha mendeteksi pemahaman mereka akan sesuatu misalnya dengan apa yang diusulkan oleh Gartner : “<em>That one who understands can exhibit at least some faced of knowledge and performance associated with adult master practitioner in that domain</em>.”<br />
Gartner menunjukkan beberapa penelitian yang mengungkapkan bahwa para pelajar Fisika ternyata tidak mempunyai pemahaman Fisika seperti yang seharusnya dimiliki oleh orang yang mengerti Fisika. Juga tentang pelajaran sejarah yang ternyata tidak menghasilkan pelajar yang memiliki cara berpikir ala sejarahwan.<br />
<br />
Saya jadi teringat ucapan Feynman sang pemenang nobel Fisika itu, bahwa Fisika itu seharusnya dipahami dengan membentuk mental model dalam pikiran kita kemudian baru diikuti oleh model matematisnya. Sementara marilah kita berkaca saat kita mempelajari Fisika dahulu, apakah kita memahami Fisika seperti cara-cara ilmuwan Fisika?<br />
<br />
Bagaimanakah seharusnya ilmu diajarkan? Seperti apakah produk belajar anak-anak kita? Saya kembali menampilkan dua kontras yang saya kutip dari Gartner dalam buku <em>Unschooled Mind</em>.<br />
Pertama, <em>starting very young to memory list of fact, arithmetict table, geometric proft . . . . . . associated with a successfull quiz show contestant</em> . . . . .<br />
dan dengan Kedua, <em>a rich understanding of the concept and principles underlying bodies of knowledge . . .persons who understand deeply has capacity to explore the world in a numbers of way. . . and who understand concept and principles based on his own exploration and reflection . . .finally reconsiliace the concept and principles that may evolved</em>. . .<br />
<br />
Sejauh para pemenang olimpiade-olimpiade tersebut dibentuk dengan prinsip-prinsip diatas, maka tidak ada keraguan. Kita akan memiliki ilmuwan mumpuni di masa depan, tapi kalau tidak . . . sesungguhnya kita hanya menghasilkan kontestan yang memenangi semacam lomba kuis belaka . . (###) </div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-33238755262837585972009-11-28T17:15:00.001+07:002013-04-12T09:48:16.238+07:00Pesawat Ini Untuk Ayah!<div style="text-align: justify;">
Hari-hari menjelang Idul Adha ini mengingatkan saya akan peristiwa kurang lebih setahun yang lalu yang terus saya kenang.<br />
Saat itu anak-anak saya sedang keranjingan mainan pesawat terbang yang dapat terbang <span style="font-style: italic;">beneran</span> dengan putaran baling-baling yang digerakkan oleh <span style="font-style: italic;">piston</span> yang mengambil sumber tenaganya dari udara yang dimampatkan.<br />
Anak-anak membeli mainan itu dari hasil uang yang mereka peroleh saat Lebaran sebelumnya.<br />
<br />
Bukan mainan itu yang mengesankan saya, melainkan peristiwa yang mengikutinya kemudian. Saat itu saya sedang bertugas di luar kota dan biasa pulang ke rumah tiap 2-3 minggu sekali. Istri sayalah yang menceritakan tentang kehebohan anak-anak yang sedang main pesawat tersebut.<br />
Namun suatu malam istri saya itu mengabarkan sesuatu yang ia minta untuk dirahasiakan dari anak tertua saya. Rupanya anak saya itu sedang menyiapkan sebuah kejutan saat saya pulang nanti.<br />
<br />
Ternyata istri saya tak tahan untuk tak membocorkan rahasia itu karena peristiwa itu begitu menggetarkan. Dengan uangnya yang tak seberapa dari hasil kerjanya mengurus kucing kami, anak saya mencoba untuk membelikan sebuah pesawat terbang mainan untuk saya! Ya, untuk saya!<br />
Pesawat terbang itu lebih besar dan tentu saja lebih mahal dari miliknya sendiri. Rupanya saat bermain pesawat terbang itu, anak saya berasumsi bahwa saya pasti akan menyukainya. Karena itulah dia ingin saya memilikinya juga.<br />
Dan karena uang hasil kerjanya tidak cukup untuk membelikan pesawat sampai kedatangan saya, anak saya meminta kesediaan ibunya untuk menambal kekurangannya.<br />
<br />
Peristiwa itu amat menggetarkan saya. Mata saya memerah dan air mata saya mengambang di pelupuk mata saya. Bukan hadiah itu yang semata-mata menggetarkan saya, melainkan peristiwa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya saat anak saya yang tertua itu berusia 2 tahun (setahun lalu usianya 10 tahun)<br />
Dialah korban dari ketidaksiapan saya menjadi seorang ayah. Saya kerap bertindak kasar dan bahkan memukulnya! Emosi saya gampang meledak hanya karena ulah seorang anak berumur 2 tahun. Walaupun saya kerap menyesali perbuatan itu pada malam hari saat memandang wajah tanpa dosa anak saya yang sedang tertidur, butuh waktu lama untuk bisa berdamai dengan ulahnya. Kerap pada malam-malam itu saya menangis sambil memandangi anak saya yang sedang tidur itu : ”Mengapa harus engkau yang dituntut untuk memahami ayah, dan bukankah ayahmu yang lebih tua inilah yang seharusnya memahamimu? Mengapa jadi terbalik?”<br />
<br />
Setelah beberapa saat kemudian saya ”telah siap menjadi seorang ayah” peristiwa itu kerap saya sesali. Saya berdoa agar anak saya itu tidak ”dendam” akibat perlakuan kasar ayahnya dan berharap agar perilaku kasar itu tidak berdampak buruk bagi perkembangan mentalnya.<br />
Untunglah dengan berlalunya waktu, anak saya ”mengkonfirmasikan” bahwa tidak ada efek buruk terhadap perkembangan mentalnya. Salah satunya peristiwa hadiah pesawat mainan tersebut.<br />
<br />
Cinta anak saya demikian besarnya, sehingga dia mau memberikan semua (bahkan tak tersisa) dari sedikit yang dimilikinya. Saya pikir inilah sifat asli dari seorang anak yang merupakan pembawaan lahir yang diwariskan dari Tuhannya.<br />
Pertanyaannya, bagaimana kita sebagai orang tuanya menjaga keadaan ”seperti aslinya” itu terus bertahan sampai mereka, anak-anak kita itu, menjadi dewasa?<br />
Anak-anak itu telah mendemonstrasikan pada kita tentang cinta yang tulus, pengorbanan, dan ketidakterikatan pada materi. Apakah sifat-sifat mulia itu hanya ekslusif bagi anak-anak seusia mereka?<br />
<br />
Bagi saya sifat-sifat mulia tersebut seharusnya bisa bertahan terus. Dan tugas kitalah untuk mengupayakannya. Saya pikir ini tugas yang berat, karena kita sendiri telah ”tercemar” oleh sifat-sifat buruk. Namun tuntutan untuk menjadikan anak-anak kita bersifat mulia, memaksa kita untuk berperilaku mulia terlebih dahulu. Dan menariknya hubungan kita dan anak kita akan menjadi hubungan saling belajar dimana suatu saat kitalah yang menjadi guru bagi mereka, namun saat yang lain anak kitalah yang menjadi guru bagi kita.<br />
Dan saya merasakannya sekarang, saya telah menjadi orang yang lebih baik karena belajar dari kesalahan yang saya perbuat pada anak-anak saya, dan dari perilaku <span style="font-style: italic;">genuine</span> anak-anak saya.(<span style="font-weight: bold;">###</span>)</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-74442799251866964852009-07-14T14:45:00.001+07:002013-04-12T09:50:06.945+07:00Belajar Dewasa Dengan The Sims<div style="text-align: justify;">
Tidak ada angin tidak ada hujan, suatu saat tiba-tiba saja Tauhid (11 tahun), anak tertua saya bertanya begini :<br />
“Bagaimana hubungan Ayah dengan Bos?”<br />
”<span style="font-style: italic;">Maksudmu</span>?”<br />
”Iya, apa hubungan Ayah baik-baik saja. Melakukan pendekatan, nggak?”<br />
Bingung, dengan arah pertanyaannya, saya berusaha mencari tahu kenapa dia bertanya seperti itu. Rupanya dia sedang memainkan <span style="font-style: italic;">game</span> The Sims 3 yang baru saya belikan sebelumnya.<br />
<br />
Tertarik dengan pertanyaannya, saya berupaya mengeksplorasi lebih jauh tentang permainan The Sims 3-nya tersebut.<br />
Rupanya Tauhid sedang memainkan peran sebagai polisi dalam <span style="font-style: italic;">game</span> tersebut. Dalam <span style="font-style: italic;">game</span> tersebut tokoh yang diperankan Tauhid berkarir sebagai polisi, mempunyai istri yang pintar masak sekaligus penulis buku. Oh, ya mereka juga punya bayi berumur kurang dari 1 tahun.<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
***</div>
<br />
Anak-anak <span style="font-style: italic;">by nature</span> senang bermain peran. Kita bisa amati bagaimana anak-anak suka berkhayal menjadi dokter, tentara, suka membangun rumah-rumahan dari selimut dan bantal, sebagai sopir dengan memakai kardus bekas sebagai mobil . . . . . .<br />
Bahkan kita, orang dewasa ini juga sebenarnya juga tengah bermain peran. Di rumah kita berperan sebagai ayah atau ibu bagi anak-anak, di kantor kita berperan sebagai insinyur, guru, pialang saham, pemilik bisnis, dan seterusnya . . . . . .<br />
Dengan bermain peran sebenarnya anak-anak sedang mengekplorasi dunia di sekitarnya, mencari kemungkinan-kemungkinan baru, dan menjajagi dunia orang dewasa.<br />
<br />
Bayangkan sekarang, kalau anak-anak bisa dengan akurat mengetahui ”dunia dewasa” dan mengkomunikasikan ide-idenya dengan kita? Dan itulah yang terjadi dengan pertanyaan anak saya itu, ia mengkomunikasikan apa yang ia tahu tentang dunia orang dewasa dan mengkonfirmasikan dengan pengalaman orang tuanya.<br />
Dengan premis bahwa anak-anak bersekolah untuk mempersiapkan diri menjadi orang dewasa, <span style="font-style: italic;">game</span> The Sims menawarkan sesuatu yang sulit untuk bisa ditandingi oleh sekolah! The Sims memberikan <span style="font-style: italic;">island of expertise</span> yang akan mengantarkan anak kita pada dialog yang mencerahkan.<br />
<br />
Dengan bermain sebagai polisi dalam The Sims, Tauhid tahu apa kewajiban orang dewasa dalam kehidupan rumah tangga : mencari nafkah, mengurus istri dan anak, bersosialisasi dengan tetangga keluarga Sims yang lain, bagaimana meningkatkan karir. Lewat permainan sebagai polisi tersebut (<span style="font-style: italic;">role</span>), Tauhid harus mengikuti aturan (<span style="font-style: italic;">rule</span>) tertentu agar karirnya sebagai polisi dapat meningkat. Sang polisi harus berlatih olah raga agar fisiknya prima, ia juga harus berlatih teknik-teknik interogasi (Tauhid bahkan menceritakan pada saya berbagai macam teknik interogasi), bagaimana caranya menangkap penjahat dengan teknik-teknik inteligen (lihat apa yang ada di tong sampahnya, selidiki teman-temannya, dll), sampai bagaimana membina karir dengan membina hubungan baik dengan atasan! Tauhid bahkan menceritakan pada saya bahwa sebelum melakukan <span style="font-style: italic;">lobbying</span> kita harus memiliki kemampuan atau kapasitas sebagai polisi yang baik terlebih dahulu. <span style="font-style: italic;">Lobbying</span> dilakukan sebagai pelengkap. Jadi, masih menurut Tauhid, tidak bisa tanpa punya kapasitas atau kemampuan yang baik kita <span style="font-style: italic;">lobby</span> atasan kita. Dia akan kurang suka atau tak memperhatikan kita. Anda bayangkan semua itu telah diketahui anak berumur 11 tahun!<br />
Oh, ya masih ada cerita tentang istri sang polisi. Sang istri mempunyai kemampuan sebagai juru masak yang hebat. Untuk mengembangkan karirnya ia berlatih menulis sehingga mampu menghasilkan buku yang <span style="font-style: italic;">best seller</span>. Tauhid berseru pada saya : ”Ayah, ternyata menjadi penulis itu bisa menghasilkan uang yang banyak!”<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
***</div>
<span style="font-style: italic;">Role and rule</span>, merupakan salah satu unsur dalam <span style="font-style: italic;">game</span>. Dan seperti yang sudah dijelaskan dimuka, bahwa sesungguhnya dunia orang dewasa merupakan dunia <span style="font-style: italic;">role</span> (peran) dengan sejumlah <span style="font-style: italic;">rule</span> (aturan), maka lewat <span style="font-style: italic;">game</span> anak-anak mampu menjelajahi dunia orang dewasa lebih dini tanpa harus benar-benar mengalaminya. Mereka akan mengenal apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya, bagaimana belajar disiplin, bagaimana menanggung konsekuensi atas tiap putusan yang dibuat.<br />
Semua ini dimungkinkan karena dalam The Sims, pemain harus mengontrol karakter/sosok yang ia mainkan. Kapan ia makan, apa yang dimakan, bagaimana kalau makannya junk food melulu, kapan ia tidur, kapan mandi, berlatih olah raga, kapan menikmati hiburan, kapan membangun relasi, kapan bekerja, kapan menikah dan punya anak, bagaimana menarik perhatian seorang gadis untuk dijadikan istri, apa yang harus ia lakukan untuk meningkatkan karir dan hidupnya, dll-nya. Bahkan peran apa yang akan dimainkan juga bisa dipilih : polisi, atlet, pebisnis, penulis, diplomat, politikus. . . . . . . . Pokoknya The Sims memang tentang bagaimana hidup, hanya dalam bentuk simulasi.<br />
<br />
Kekuatan inilah yang tidak mungkin disediakan oleh sekolah. Dalam The Sims kita bisa meminta anak-anak untuk menjelaskan latar belakang tiap keputusan yang dibuatnya (melalui tokoh yang dimainkannya). Kita juga bisa memberitahu apa yang terjadi dalam <span style="font-style: italic;">game</span> yang tidak terjadi dalam dunia nyata. Mungkin pula bisa dijelaskan pada mereka efek keputusan yang mereka buat yang mempunyai efek berbeda antara dunia <span style="font-style: italic;">game</span> dengan dunia nyata.<br />
The Sims memfasilitasi kita untuk memperbincangkan sesuatu yang benar-benar bernilai. Kita punya sesuatu untuk didiskusikan dan membuat interaksi kita jauh lebih bermakna.<br />
<br />
Bagaimana dengan efek buruk? Bagaimana kalau mereka belum pantas tahu sesuatu dalam umur mereka? (katakanlah tentang seks). Saya memilih untuk memaparkan apa adanya daripada memproteksi mereka dalam sesuatu yang kita anggap negatif. Sebab memang itulah kenyataan dunia disekitar kita.<br />
Dalam The Sims ada pergaulan yang menurut kita terlalu bebas, ciuman, pelukan, <span style="font-style: italic;">making love</span> tanpa nikah. Tapi bukankah itu memang ada dalam masyarakat kita? Saya mengambil posisi untuk menjelaskan hal itu dari sudut pandang nilai-nilai atau agama yang kita yakini. Saya bisa katakan pada mereka, <span style="font-style: italic;">okey</span> hal itu tak sesuai dengan agama kita. Seharusnya . . . bla . . .bla . . .bla. Akan saya jelaskan pula, bahwa ada orang-orang yang punya nilai berbeda dibanding kita. Dan itu nyata.<br />
Dengan demikian, anak kita tak akan terkaget-kaget melihat dunia nyata yang selama ini disembunyikan dari mereka. Bukankah mereka lebih baik tahu sesuatu dari kita dibandingkan tahu dari teman sebaya mereka?<br />
Dalam game yang lain yang cukup vulgar, Grand Theft Auto, Tauhid bertanya pada istri saya apa itu wanita yang berpakaian ”tidak seperti yang biasa aku lihat”. Istri saya katakan padanya bahwa wanita seperti itu (dalam <span style="font-style: italic;">game</span> tsb) adalah pelacur. Walaupun tidak semua wanita yang berpakaian macam itu (seronok) berarti pelacur.<br />
<br />
Terakhir, dengan bermain The Sims, kemampuan Bahasa Inggris anak saya meningkat. Tentu saja, karena semua info dan perintah tersaji dalam Bahasa Inggris. Sedangkan saya dan istri saya tidak pernah mendampingi dia dalam bermain. Maka mau tak mau ia harus memahami apa yang tertulis tersebut (kalau tidak maka ia tak akan dapat memainkan <span style="font-style: italic;">game</span> tersebut). Selama ia terus memainkan tokoh dalam The Sims sampai pada tahapan tertinggi berarti ia memahami Bahasa Inggris dalam <span style="font-style: italic;">game</span> tersebut.<br />
Menurut saya inilah cara alami untuk belajar bahasa. Inilah cara bayi belajar bahasa, bukan? Lain dengan anak yang tahu kosakata Bahasa Inggris tanpa tahu kapan digunakan. Kerap kita lihat anak-anak usia SD main tebak-tebakan kata dalam Bahasa Inggris. Apa Bahasa Inggrisnya gajah? Bahasa Inggrisnya kuda? dan seterusnya . . . .<br />
Lagi pula Anda nggak pernah main tebak-tebakan kata dalam Bahasa Jawa dengan bayi Anda bukan? (###)</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-35062429049859886972009-07-12T22:00:00.002+07:002013-04-12T09:51:17.132+07:00Open Source Dalam Pendidikan<div style="text-align: justify;">
Seperti halnya dunia komputer yang mengenal <span style="font-style: italic;">open source</span>, dunia pendidikan juga perlu di-<span style="font-style: italic;">open source</span>-kan (terutama dengan kecenderungan sekolah-sekolah kita yang makin mahal dan berorientasi bisnis). Saat ini <span style="font-style: italic;">open source</span> dalam dunia komputer berkembang sangat pesat, kita mengenal Linux sebagai alternatif dari Windows, Open Office sebagai alternatif MS Word, Gimp sebagai ganti Photoshop, Blender sebagai versi gratisan 3 DS Max. Semangat pegiat <span style="font-style: italic;">open source</span> diantaranya adalah untuk membebaskan ketergantungan dari perangkat lunak berbayar, dikembangkan oleh dan untuk komunitas. Sekalipun gratisan <span style="font-style: italic;">open source</span> ini tidak berarti murahan.<br />
Nah,<span style="font-style: italic;"> open source</span> dalam pendidikan dengan redaksi yang berbeda sebenarnya telah digagas oleh Ivan Illich dalam <span style="font-style: italic; font-weight: bold;">Deschooling Society</span> pada medio tahun 70-an. Illich meramalkan bahwa pada suatu saat masyarakat tidak memerlukan sekolah, ini karena masyarakat sudah berkembang sedemikian rupa dimana informasi apapun yang dibutuhkan oleh generasi muda tersedia secara luas dan dapat diakses dengan mudah.<br />
<br />
Illich secara radikal menganjurkan bahwa sekolah sudah seharusnya dihapuskan. Mengapa? Sekolah telah membuat masyarakat sangat tergantung padanya sehingga percaya bahwa satu-satunya cara untuk menjadi terdidik harus melalui sekolah. Akibatnya orang tua, masyarakat, dan lembaga-lembaga sosial yang lainnya mengabaikan sisi pendidikan yang seharusnya melekat padanya. Sekolah juga menunjukkan sisi kontradiktifnya : semakin tinggi anggaran yang disediakan makin besar sisi destruktifnya. Berapapun dana yang disediakan tidak akan cukup untuk membuat warga negara yang miskin menjadi cukup terdidik. Pendidikan memang perlu dan sudah seharusnya tetapi tidak melulu harus lewat sekolah. Illich menganjurkan pendidikan berbasis masyarakat (<span style="font-style: italic;">community based education</span>).<br />
<br />
Apa yang diramalkan oleh Illich sudah menjadi kenyataan saat ini terutama tentang bahwa informasi sudah sedemikian mudahnya untuk diakses oleh siapa saja dan murah. Internet telah memungkinkan segalanya, sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya. Kini kita tak tergantung lagi pada sekolah sebagai sarana penyedia pendidikan, ada<span style="font-style: italic;"> open source</span> di luar sana !<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Era Baru Pendidikan Telah Tiba</span><br />
<br />
Saya sangat percaya bahwa di masa depan orang akan lebih menghargai kemampuan, dan kapasitas seseorang daripada selembar ijazah yang ditenteng kemana-mana. Dan itu menjadi sangat mungkin bila kita mau menjadi entrepreneur. Perekonomian yang sehat setidaknya harus didukung oleh adanya pengusaha sebanyak 2% dari jumlah penduduk. Rata-rata negara maju mempunyai komposisi seputar 2% pengusaha dari total penduduknya. Kutub ekstrim adalah Singapura dengan 7% sementara kutub ekstrim lainnya yang menyedihkan adalah Indonesia dengan 0,198% dari total penduduk!<br />
Inilah menurut saya peluang kerja yang terbesar! Dan inilah peluang besar untuk memajukan negara. Dan menariknya kita tak butuh sekolah untuk menjadi pengusaha. Ada <span style="font-style: italic;">open source</span> di sana!<br />
Saya telah melakukan studi kecil-kecilan dalam rangka menemukan sumber bagi <span style="font-style: italic;">self directed learning/unschooling</span> anak saya. Saya menemukan bahwa bahkan untuk menjadi seorang <span style="font-style: italic;">programmer</span> pun kita tidak perlu sekolah bahkan kuliah. Bukalah situs Microsoft misalnya. Kita akan temukan suatu program gratisan yang akan mengantarkan siapapun untuk menjadi seorang <span style="font-style: italic;">programmer</span>. Sedikit biaya yang sepadan mungkin untuk mendapatkan sertifikasi Microsoft misalnya untuk menjadi seorang <span style="font-style: italic;">Microsoft Certified Developer</span>.<br />
<br />
Atau ingin membuat game bagi XBOX 360? Mungkin sekali dan semua itu gratis. Satu-satunya biaya mungkin keanggotaan komunitas XNA Creator. Namun untuk itu kita akan mendapatkan layanan dukungan penuh komunitas yang pada akhirnya memungkinkan kita menjual game untuk XBOX 360 di pasar international.<br />
Ingin menjadi desainer grafis? Kita bisa masuk ke situs Blender yang menyediakan program gratisan animasi atau modeling 3D lengkap dengan dukungan komunitas untuk meningkatkan kemampuan kita.<br />
<br />
Itu baru sebagian kecil kemungkinan menarik. Dan inilah sebenarnya inti dari <span style="font-style: italic;">unschooling</span>, memaparkan anak-anak pada realitas yang sedang berkembang di masyarakat. Bayangkan kemungkinan menariknya. Anak-anak bahkan tak perlu menunggu lulus sekolah untuk mulai mewujudkan apa yang menjadi minat dan hasratnya. Di tengah anak-anak sebaya sedang sibuk mempelajari sesuatu yang sangat sedikit kaitannya dengan hidup mereka kelak (selain ijazah bagi yang percaya), anak-anak <span style="font-style: italic;">unschooling</span> membangun portofolio mereka sendiri. Saat anak-anak usia SMA masuk ke perguruan tinggi dengan memilih jurusan yang mereka tidak benar-benar tahu apa isinya, anak-anak <span style="font-style: italic;">unschooling</span> (kalau mereka mau) masuk ke perguruan tinggi dengan tujuan menutup celah ilmu pengetahuan yang belum mereka kuasai atau untuk memperkaya portofolio mereka.<br />
Saya <span style="font-style: italic;">kok</span> yakin akan tiba masanya dimana universitas akan menghargai portofolio seseorang dibanding sekadar ijazah. Bukankah sangat menarik misalnya membayangkan anak-anak <span style="font-style: italic;">unschooling</span> yang akan masuk ke jurusan ilmu komputer sambil membawa karya-karya pengembangan <span style="font-style: italic;">software</span> berbasis bahasa C#? Atau masuk ke jurusan elektro sambil membawa hasil karya robotika yang menunjukkan kemampuannya dalam pemrograman mikrokomputer berbasis bahasa C? Sementara rekan sebaya mereka hanya menunjukkan selembar ijazah?<br />
Atau mengapa tidak terjun langsung dalam bisnis? Dikala teman-teman sebaya menghabiskan waktu untuk kuliah, anak-anak <span style="font-style: italic;">unschooling</span> itu bisa memulai bisnisnya. Atau dengan ketrampilan yang mereka punyai (lewat portofolio mereka), mereka bisa magang pada sebuah perusahaan dengan dibayar atau tanpa dibayar sebagai penukar pembelajaran mereka di perusahaan tersebut.<br />
Kemungkinan akan sangat terbuka luas kalau kita mau berpikir bahwa sekolah bukan satu-satunya penyedia pendidikan dan bukan satu-satunya jalan bagi pondasi karir kita.(###)<br />
<br /></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-17737743162995803192009-07-09T21:17:00.002+07:002013-04-12T09:52:07.427+07:00Are You Smarter Than 5th Grader? If No, Never Mind!<div style="text-align: justify;">
Inilah acara TV yang cukup populer yang bisa digunakan sebagai alat untuk menunjukkan apa yang <span style="font-style: italic;">make sense in the real world</span>. Dalam acara ini ditampilkan dua kontestan yang cukup “bertolak belakang”. Yang satu adalah anak kelas 5 SD, sementara lawannya biasanya orang dewasa yang cukup sukses di bidangnya atau figur terkenal lainnya. Bisa seorang profesional, olahragawan, lulusan perguruan tinggi dengan IP tinggi, dan lain sebagainya.<br />
Para kontestan diberi pertanyaan seputar materi-materi pelajaran atau pengetahuan yang biasanya diberikan pada anak kelas 5 SD. Bagian paling menarik tentu menyaksikan bagaimana orang dewasa itu kerap kalah oleh anak-anak SD tersebut. Kalau orang dewasa yang menang tentu tidak menarik lagi, sebab sudah lazim orang dewasa dianggap lebih tahu soal-soal anak SD, karena <span style="font-style: italic;">toh</span> mereka pernah mengalami menjadi anak kelas 5 SD.<br />
<br />
Seperti yang sudah saya sebut diatas, acara kuis ini justru menunjukkan paradoks tertentu. Paradoks inilah yang bisa disampaikan pada anak-anak <span style="font-style: italic;">unschooling</span>, apa sih yang sebenarnya benar-benar penting untuk diketahui dalam dunia nyata, dunia di luar sekolahan. Orang-orang dewasa yang sukses itu kerap kalah dengan anak kelas 5 SD. Tentu saja! Sebab kesuksesan mereka tidak terkait dengan apa yang mereka pelajari di kelas 5 SD. Dengan kata lain, tanpa harus menguasai semua materi pelajaran kelas 5 SD (atau materi pelajaran sekolah dari SD – SMU) terbukti orang bisa sukses. Pelajaran sekolah juga terbukti tidak menetap lama dalam memori mereka. Tidak hapal jawaban-jawaban tersebut juga tidak apa-apa. Orang dewasa itu juga baik-baik saja.<span style="font-style: italic;"> Nothing happen</span>!<br />
<br />
Kuis itu dengan menyakinkan menunjukkan bahwa apa yang dipelajari di sekolah memang tidak relevan dengan apa yang sedang diperbincangkan di masyarakat, dengan apa yang sedang dilakukan masyarakat, seperti yang sudah lama dipermasalahkan oleh psikolog Howard Gartner. Sebab kalau memang materi pelajaran tersebut <span style="font-style: italic;">make sense</span> tentu <span style="font-style: italic;">nyambung</span> dengan apa yang sedang terjadi di luar tembok sekolah.<br />
Coba perhatikan pertanyaan-pertanyaan kuis tadi (yang serupa dengan pertanyaan di sekolah) :<br />
<br />
Siapa ilmuwan Prancis yang menemukan Radium sekaligus meraih Nobel?<br />
Berapakah kelipatan persekutuan terkecil dari 12?<br />
Apa beda uang kartal dengan uang giral?<br />
<br />
Pertanyaan-pertanyaan di atas mengandalkan hapalan (<span style="font-style: italic;">rote memorization</span>) dengan jenis jawaban yang bisa benar atau salah. Tidak ada hubungannya apakah kita tahu jawaban pertanyaan-pertanyaan itu dengan apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat, apa yang sesungguhnya dianggap penting dalam masyarakat, atau apakah jawaban pertanyaan itu menggambarkan pemahaman akan sesuatu. Pertanyaannya : apa sesungguhnya yang dipelajari dari mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu? Apa yang bisa dilakukan?<br />
Jadi saat anak laki-laki saya menonton acara itu bersama saya, saya temukan senjata itu : ”Lihat, Nak. Orang dewasa yang IP-nya 3.5 itu tidak tahu jawaban pertanyaan itu. Jadi kamu (seusia kelas 5 SD) pun tidak harus tahu jawabannya. Tapi kau lihat, orang dewasa itu sukses. Kamu hanya perlu tahu <span style="font-weight: bold;">apa yang diketahui oleh orang dewasa itu</span>”<br />
<br />
Saya sampaikan padanya paradoks yang lain. Tentang ujian yang harus dilalui seorang murid. Seorang murid harus bisa menjawab sekian banyak soal dari sekian mata pelajaran. Paradoksnya : bahkan sang guru pun tidak akan mampu menjawab sekian soal dari sekian banyak mata pelajaran . Guru Bahasa Indonesia (yang tentu sudah mengalami belajar matematika) hampir bisa dipastikan tidak bisa menjawab soal matematika yang diujikan! Dan begitu pula sebaliknya!<br />
Jadi saya katakan padanya bahwa untuk menjadi dewasa seseorang harus tahu segala hal atau harus melalui ritual sekolah adalah mitos belaka!<br />
Beberapa sub bab dari mata pelajaran di sekolah mungkin memang benar-benar berguna, tapi tidak semuanya benar-benar kita gunakan kelak.<br />
<br />
Alih-alih saya mendorong anak saya untuk tahu segala hal tentang <span style="font-style: italic;">tetek bengek</span> materi-materi sekolahan, saya mencoba untuk mengenalkan apa <span style="font-style: italic;">sih </span>yang diperbincangkan oleh orang dewasa dalam profesi mereka masing-masing? Apa yang menjadi <span style="font-style: italic;">concern</span> mereka? Pengetahuan apa yang harus diketahui untuk terlibat perbincangan dengan orang dewasa?<br />
Dan ini bisa membawa kita pada perbincangan yang mencerahkan dengan anak kita.<br />
<br />
Saat merancang <span style="font-style: italic;">mobile robot</span> yang mampu mencari bola dan kemudian hanya memukul bola yang berwarna merah, anak saya (seusia kelas 5 SD) harus melakukan pemrograman pada mikrokomputer si robot. Rupanya perilaku si robot tidak seperti yang diharapkan dan inilah pertanyaannya :<br />
”Ayah, dia memukul semua bola biru dan merah dan bukan yang merah saja!”<br />
”<span style="font-style: italic;"> Apa sensor cahayanya sudah kamu kalibrasi</span>?”<br />
”Sudah! datanya sudah saya logging”<br />
”<span style="font-style: italic;">Coba lihat programnya. Buka logic block-nya</span>”<br />
”Hmm . . . disini . . . tertulis <span style="font-style: italic;">or</span> seharusnya <span style="font-style: italic;">if</span>, <span style="font-style: italic;">pantesan</span> semua bola dipukulnya”<br />
Bisa Anda bayangkan? Perbincangan tersebut merujuk pada pekerjaan seorang programmer. Dan hal seperti itulah yang memang <span style="font-style: italic;">make sense in the real world</span>. Itulah kosakata seorang programmer.<br />
Dari contoh diatas pengetahuan tentang logika digunakan untuk menyelesaikan persoalan pemrograman <span style="font-style: italic;">behavior</span> robot. Saya tidak tahu apa yang bisa dilakukan dengan mengetahui kelipatan persekutuan terkecil dari 12 seperti contoh pertanyaan dalam kuis diatas<br />
<br />
Perbincangan seperti diataslah yang dimaksud oleh Crowley sebagai <span style="font-style: italic;">islands of expertise</span>, sesuatu yang menarik minat anak-anak dan karenanya memicu untuk belajar lebih jauh. <span style="font-style: italic;">Islands of expertise</span> selalu terbentuk ketika anak-anak berinteraksi dengan orang tua dan orang dewasa lain yang berpengetahuan.<br />
Jadi, permainan tebak-tebakan macam kuis <span style="font-style: italic;">Are You Smarter</span> tadi sama sekali tidak memicu apa-apa. Tidak akan membawa anak-anak untuk mengetahui lebih jauh tentang topik bersangkutan. Dan ironisnya, permainan tebak-tebakan ini dalam berbagai bentuknya dilestarikan dan diagungkan oleh sistem pendidikan nasional kita. Dan saat anak saya ditanya soal-soal sekolahan oleh tetangga sebelah rumah , ia menjawab : Kenapa aku harus menjawab pertanyaan bodoh itu? (<span style="font-weight: bold;">###</span>)</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-77959060284367819222009-06-20T21:39:00.006+07:002013-04-12T09:54:50.344+07:00Belajar Apa Dari Game?<div align="justify">
Yang dimaksud dengan <em>game</em> disini bukanlah yang diasosiasikan sebagai <em>educational games</em> pada umumnya yang memang nyata-nyata dianggap mengandung unsur-unsur pendidikan, melainkan <em>games</em> yang secara umum dianggap hanya mengandung unsur hiburan semata. Yang oleh orang tua pada umumnya cenderung dibatasi atau bahkan dilarang. Yang orang tua umumnya tak menghendaki anak-anaknya kecanduan. Ya, <em>games</em> semacam <em>The Sims</em>, <em>The Sims City, Grand Theft Auto, Roller Coaster Tycoon, Tokyo Drift, Need for Speed</em> dan lain sebagainya. Tak seperti yang kita bayangkan ternyata <em>game-game</em> itu, dengan cara-cara tertentu, bisa menjadi sarana pembelajaran yang bagus.<br />
<br />
Mengapa kita memakai <em>game</em> semacam itu, dan bukannya <em>game</em> yang nyata-nyata mengandung unsur pendidikan? Masalahnya hanyalah mana yang lebih menarik. <em>Educational games</em> pada umumnya kalah menarik dibanding <em>game-game</em> tersebut. Kalau <em>educational games</em> mampu menarik minat anak-anak kita tidak masalah, tetapi kalau anak-anak ternyata lebih memilih <em>game-game</em> yang saya sebut diatas, mungkin bisa jadi masalah bagi sebagian orang tua, terutama bagi orang tua yang anaknya bersekolah.<br />
<br />
Howard Gartner dalam <em>Unschooling Mind</em>, menyatakan bahwa kesulitan terbesar yang dihadapi oleh sekolah adalah menarik minat anak-anak akan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Oleh karena pelajaran di sekolah menurut Gartner tidak sepenuhnya mencerminkan atau jauh dari realitas keseharian anak-anak, maka sangat sulit bagi anak-anak merasakan pentingnya mereka harus mempelajari pelajaran sekolah. Pengaruh di luar sekolah sangatlah besar dan jauh lebih menarik dari apa yang diajarkan di sekolah. Maka upaya untuk membendung pengaruh yang datang dari luar sekolah, merupakan upaya berat dan makin lama akan membebani sekolah. Dan salah satu pengaruh besar adalah <em>game</em>.<br />
<br />
Adalah David Williamson Shaffer lewat bukunya <em>How Computer Games Help Children Learn</em> yang mengungkap potensi besar <em>game</em> untuk pembelajaran. Buku Shaffer bukanlah buku tentang <em>game</em>, melainkan buku tentang pembelajaran. Sebelumnya James Paul Gee juga mengungkap kekuatan <em>game</em> untuk keperluan pembelajaran lewat bukunya <em>What Video Games Have to Teach Us About Learning and Literacies</em>. Kedua ahli tersebut terutama Shaffer, mengungkapkan bahwa pembelajaran bermakna akan sangat efektif bila dibuat dalam bentuk <em>game</em>, terutama untuk pembelajaran abad 21. Pembelajaran konvensional sangatlah tidak memadai, seperti diungkap Gartner, terutama karena kecenderungan sekolah-sekolah pada umumnya menggunakan pendekatan <em>subject matter</em>, misalnya : Matematika, Biologi, Kimia, Sejarah, dan lain sebagainya.<br />
<br />
Pendekatan <em>subject matter</em> dipandang tidak memadai karena menafikan keterkaitan antar berbagai disiplin, sementara masalah-masalah di masa depan yang komplek mustahil didekati dengan satu disiplin saja. Lebih dari itu, karena pendekatan <em>subject matter</em> tidak terkait dengan masalah-masalah dalam keseharian kita, ia hanya cocok untuk <em>setting</em> sekolahan saja dan tidak <em>applicable</em> untuk kontek keseharian kita. Gartner mengungkapkan penelitian dari berbagai ahli bahwa sebagian besar siswa sekolah gagal menyelesaikan soal-soal yang sedikit saja dimodifikasi dari soal-soal yang selama ini diujikan di sekolah. Kesimpulannya mereka mampu menyelesaikan soal-soal hanya jika dikaitkan dengan kondisi persekolahan. Soal-soal disekolah hanya dirancang untuk dan demi kelanjutan sistem persekolahan itu sendiri secara berjenjang mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Itu hanya cocok untuk mereka yang mau berkarir di dunia akademis. Masalahnya tidak semua siswa tersebut berkarir jadi dosen atau profesor bukan?<br />
<br />
Gartner mengajukan solusi alih-alih memperkaya siswa dengan <em>subject matter</em>, ia mengenalkan apa yang disebut dengan <em>discipline matter</em>. Pada intinya pendekatan <em>discipline matter</em> didasari oleh kenyataan bahwa setiap disiplin ilmu atau profesi tertentu mempunyai <em>body of knowledge</em>, sikap mental, dan pendekatan tersendiri yang berbeda satu sama lain dan bahkan bertolak belakang. Seorang ahli sejarah mempunyai sikap yang bertolak belakang dalam memperlakukan fakta dengan seorang ahli fisika misalnya.<br />
Jadi penting bagi anak-anak untuk tahu sedari awal apa <em>body of knowledge</em> yang mendasari pola pikir dan sikap dari masing-masing profesi yang ada di masyarakat. Tentu saja pada akhirnya mereka harus memilih profesi apa kelak yang akan mereka tekuni. Gartner mengajukan bahwa siswa perlu magang atau terlibat dalam proyek dimana disana ada seorang ahli atau orang dengan profesi tertentu.<br />
<br />
Walaupun tidak saling berhubungan, ada beberapa aspek dalam penelitian Gartner yang ternyata diperkaya oleh Shaffer. Mereka membicarakan hal sama berkaitan dengan <em>body of knowledge</em>, hanya saja Shaffer mengajukan solusi yang lebih konkrit, paling mungkin, dan mungkin lebih murah. Shaffer menintrodusir penggunaan <em>games</em>. Shaffer memperkenalkan beberapa aspek yang bisa dikembangkan lewat <em>game</em> disertai oleh contoh <em>game-game</em> yang sudah dipasarkan atau yang sedang dikembangkan oleh para ahli pembelajaran. Sekalipun <em>game-game</em> itu mungkin belum tersedia saat ini di Indonesia, tapi kita masih bisa memanfaatkan beberapa <em>game</em> yang ada untuk sarana pembelajaran anak-anak.<br />
<br />
<strong><em>Roles and Rules</em></strong><br />
<br />
Penggunaan <em>game</em>, menawarkan sesuatu yang tidak bisa disediakan oleh sekolah. Selama ini kita berasumsi bahwa sekolah menyiapkan anak-anak untuk terjun di masyarakat atau demi masa depan mereka. Masalahnya bidang kerja atau karya macam apa yang diharapkan akan disumbangkan oleh anak-anak kita itu secara spesifik, masih sumir, masih belum jelas. Contoh sederhana : apa sih yang diperlukan untuk menjadi seorang insinyur? Apa yang dikerjakannya? Apa yang harus diketahui? Bagaimana sikap mentalnya? Jawaban dari pertanyaan itu sulit terjawab bahkan kala seseorang sudah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. Yang benar-benar tahu bagaimana seharusnya seorang calon insinyur dididik dan dipersiapkan adalah insinyur profesional itu sendiri. Demikian juga kalau kita ingin mendidik seorang pengusaha. Yang benar-benar tahu bagaimana seharusnya calon pengusaha dibentuk, tentu seorang pengusaha bukan lembaga pendidikan yang menawarkan program entrepreneurship. Inilah yang disebut Shaffer dengan <em>role and rules</em>. Setiap profesi punya modelnya sendiri. Punya aturan-aturannya sendiri.<br />
<br />
Shaffer menawarkan solusi <em>game</em>. Lewat <em>game</em> dengan tema tertentu dan yang dirancang secara khusus, kita tidak harus menjalani kenyataan atau kondisi sebenarnya, sebab lewat <em>game</em> semua itu bisa disimulasikan. Contoh termudah untuk memahami ini adalah : <em>flight simulator</em>. Seorang pilot jika ingin menerbangkan tipe pesawat tertentu, tidak harus secara langsung terbang dengan pesawat <em>beneran</em>. Ia bisa melakukannya lewat simulator. Dengan simulator ini sang pilot bisa “berperan” (<em>role</em>) sebagai pilot pesawat dengan tipe tertentu dan tahu aturan/prosedur (<em>rule</em>) yang berlaku secara spesifik untuk menerbangkan pesawat tersebut.<br />
Seperti yang telah ditunjukkan Shaffer, simulasi seperti ini bisa diterapkan untuk berbagai bidang. Mulai bidang-bidang rekayasa konstruksi, politisi, jurnalis, ilmuwan, <em>city planner</em>, dan lain sebagainya.<br />
<br />
<strong>Menyikapi game yang ada di pasaran</strong><br />
<br />
Sayangnya <em>game-game</em> yang dimaksud oleh Shaffer, belum sepenuhnya ada di pasaran. Namun bukan berarti <em>game-game</em> yang ada tidak bisa kita manfaatkan, ada beberapa prinsip dan penyikapan terhadap game yang bisa kita lakukan untuk menarik manfaat dari sebuah <em>game</em>.<br />
<br />
Berikut ini adalah contoh beberapa <em>game</em> yang populer dan apa yang bisa dapatkan darinya untuk memperkaya pembelajaran anak-anak kita.<br />
<br />
<em>The Sims City</em><br />
<br />
<em>Game</em> ini tentang bagaimana menjadi walikota, atau lebih tepatnya bagaimana mengurus kota. Kita diminta untuk merancang sebuah kota, mengembangkannya, dan mengatasi permasalahan yang timbul.<br />
<br />
Lewat <em>game</em> ini kita akan belajar bagaimana sebuah kota dikelola : bagaimana membagi zona-zona untuk perumahan, kawasan perdagangan, kawasan industri, bagaimana menyediakan air, listrik, jalan, rumah sakit, sekolah, sarana perhubungan, bagaimana mendapatkan dana, mengelola budget, mengatasi kemacetan lalu lintas, polusi udara, tingkat kejahatan, bagaimana meningkatkan perekonomian, sampai bagaimana memanfaatkan para penasihat walikota dan menyikapi LSM!<br />
<br />
<em>Game</em> ini tidaklah terlalu “mengkuatirkan” orang tua, namun manfaat terbesar bisa didapatkan kalau orang tua terlibat didalamnya.<br />
Cobalah perkenalkan anak-anak dengan <em>game</em> ini dan biarkan mereka memainkannya beberapa saat. Sesuai umurnya anak-anak akan bertanya bebarapa aspek dari <em>game</em> ini, mulai dari cara memainkannya sampai beberapa istilah tertentu seperti : pembangkit listrik batubara sampai nuklir, tentang macam-macam kelas jalan, membaca grafik, tentang uang, tentang polusi, dan sebagainya.<br />
<br />
Nah, dari apa yang diketahuinya lewat <em>game</em> tersebut, kita akan dapat memulai pembicaraan yang berbobot dan mencerahkan pada anak-anak kita. Kalau mereka tertarik pada aspek tertentu, misalnya lingkungan, maka kita bisa memperkenalkan meraka lebih lanjut dengan membahas soal isu-isu <em>global warming</em>, tentang bagaimana menjadi aktivis lingkungan hidup, sampai pada peran apa yang bisa kita mainkan untuk ikut melestarikan lingkungan. Tertarik dengan bandara, maka perbincangan bisa dilanjutkan dengan bagaimana sebuah bandara dibangun lengkap dengan aspek-aspek teknik sipil di dalamnya, dan seterusnya.<br />
<br />
Kegiatan lain yang bisa dilakukan adalah mengajak anak-anak keliling kota sambil berdiskusi tentang pengelolaan kota dalam <em>The Sims City</em> dengan membandingkannya dengan kota tempat tinggal kita sendiri lengkap dengan segala permasalahannya, lalu mintalah anak-anak untuk mensimulasikan kota tempat tinggal kita tersebut dalam <em>game. </em>Kontur kota beserta tataletaknya diupayakan mirip kota aslinya (kita perlu peta kota untuk ini). Lihatlah apa yang terjadi? Masalah apa yang timbul?<br />
Nah, kemudian minta mereka untuk menyelesaikan masalah itu dengan mencoba untuk membuat desain tataletak kota tempat tinggal menurut versi mereka.<br />
<br />
<em>Zoo Tycoon</em><br />
<br />
Adalah tentang bagaimana mengelola kebun binatang. Di dalamnya ada aspek pengelolaan dana, ada aspek-aspek marketing, aspek-aspek perencanaan dan ilmu tentang hewan.<br />
Kita bisa memperkaya anak-anak akan dunia hewan, habitatnya, makanannya, dan lain-lain lewat <em>game</em> ini. Pembicaraan tentang hewan bisa medominasi diskusi kita dengan anak-anak. Lengkapi <em>game</em> tersebut dengan sumber-sumber lain yang bisa digunakan untuk memperkaya, misalnya dengan mencari lebih dalam tentang hewan-hewan tersebut lewat majalah <em>National Geography</em>.<br />
<br />
<em>Need for Speed</em><br />
<br />
Kalau ini sesuai namanya adalah game tentang balapan mobil. Unsur “pendidikannya” mungkin kecil. Tapi kita bisa menarik anak-anak dalam diskusi tentang mobil : prinsip kerjanya, apa yang membuatnya bisa lebih cepat (dan mengapa) : apa itu senyawa Nitro?, tentang prinsip-prinsip fisika dalam mobil.<br />
<br />
<strong>Kesimpulan</strong><br />
<br />
Kata kuncinya adalah keterlibatan. Anak-anak butuh interaksi dengan orang dewasa yang berpengetahuan dan matang dibandingkan dengan segala macam instruksi. Dengan menjadi terlibat sebenarnya kita tidak perlu terlalu kuatir dengan efek buruk dari <em>game</em> yang ada, bahkan dengan <em>game</em> yang kontroversial seperti <em>Grand Theft Auto</em> (<em>game </em>yang penuh dengan kekerasan, kejahatan, dunia <em>gang</em>). Akan lebih baik mengutarakan pandangan Anda daripada sekadar melarang.<br />
Menjadi lebih terlibat juga secara tidak langsung menunjukkan pada anak-anak bagaimana seorang dewasa mendapatkan pengalamannya : baik pengalaman keilmuan atau yang lainnya. Menjadi terlibat, menurut saya adalah salah satu syarat mutlak untuk orang tua yang memilih meng-<em>unschooling</em>-kan anak-anak mereka.(###) </div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-70498334461606806552009-06-12T13:14:00.001+07:002012-01-13T17:21:25.077+07:00Tirani Ujian Nasinal<div style="text-align: justify;">
Dunia pendidikan kita heboh saat 33 SMU mencurangi Ujian Nasional Mei 2009. Tak urung DPR dan BSNP turun tangan dan terjebak tentang perlu atau tidaknya diselenggarakan ujian ulang. Sebenarnya kecurangan ini bukanlah yang pertama. Tahun-tahun sebelumnya ujian nasional juga dinodai oleh berbagai modus kecurangan. Hanya saja tahun ini kecurangan ini lebih dramatis : dilakukan oleh dalam jumlah besar institusi sekolah secara bersama, menimpa 100% pelajar di sekolah bersangkutan. Yang paling dramatis mungkin ditolaknya siswa berprestasi dari sekolah itu yang sudah dinyatakan lulus tanpa tes oleh universitas tertentu.<br />
<br />
Dalam tahun-tahun belakangan ini, pelaksanaan Ujian Nasional belum pernah ada padanannya dalam sejarah penyelenggaraan ujian : soal-soal ujian sampai harus dijaga polisi, pelaksanaan ujiannya diawasi oleh polisi, LSM, wakil perguruan tinggi . . . . .<br />
Pelajar yang akan mengikuti ujian dan orang tuanya tak kalah hebohnya : ada istighosah sampai nangis-nangis segala, seolah ujian nasional adalah problem besar yang masa depan kita sangat tergantung padanya . . . . .<br />
Melihat kecenderungannya sangat mungkin pemerintah akan meningkatkan aspek pengawasan dalam pelaksanaan ujian dan bukannya mengevaluasi perlu tidaknya ujian nasional dalam mengukur aspek-aspek pembelajaran. Dan kalau ini benar, maka kita akan menghadapi masalah besar.<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Pesan yang salah</span><br />
<br />
Sejak awal pelaksanaan ujian nasional ini memang mengundang kontroversi. Ia bertentangan dengan UU Sisdiknas. Menurut undang-undang ini evaluasi terhadap proses pembelajaran merupakan tanggung jawab guru dari siswa bersangkutan. Dari undang-undang ini pula kemudian pemerintah mengintrodusir Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang memberikan otonomi pada sekolah dalam proses pembelajaran.<br />
<br />
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ini harus diakui merupakan sebuah langkah maju, dimana sekolah dimungkinkan untuk membuat kurikulum mereka sendiri, mengkreasikan model-model pembelajaran sendiri, mengevaluasi hasil pembelajaran dengan cara-cara mutakhir, dan lain sebagainya. Kita kenal pula adanya PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif Menyenangkan) yang membuat suasana pembelajaran di kelas jauh lebih kondusif.<br />
<br />
Nah, keputusan pemerintah untuk terus mempertahankan adanya ujian nasional merupakan paradoks dari penyelenggaraan KTSP. Dalam KTSP, sekolah diberi otonomi namun lewat ujian nasional, pemerintah sudah melakukan intervensi. Dan intervensi ini celakanya sangat buruk. Ia akan mematikan KTSP.<br />
<br />
Lewat KTSP pemerintah berharap dapat memperbaiki mutu pendidikan kita, dengan mendorong para guru untuk lebih kreatif dan mandiri. Guru diharapkan mampu menerapkan metode-metode pembelajaran mutakhir yang telah ditemukan oleh para ahli. Anak-anak akan belajar dengan lebih antusias, pembelajaran mereka akan lebih membumi, kemampuan mereka lebih dihargai, dan tak hanya murid para guru pun tentu merasa lebih berdaya dan dihargai.<br />
<br />
Akan tetapi pelaksanaan Ujian Nasional telah mengirim pesan salah pada sekolah-sekolah kita. Alih-alih berupaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolahnya, karena adanya tekanan yang besar untuk sukses dalam Ujian Nasional, para guru ini akan memilih untuk melakukan <span style="font-style: italic;">defensive teaching</span>, mengajar untuk sekadar ”cari selamat.”<br />
Sebab disini penghargaan bukanlah pada yang mampu mengajar dengan inovatif-kreatif, melainkan pada mereka yang mampu meluluskan banyak anak didik dalam ujian nasional. Sekalipun, para guru ini tetap bertahan dengan idealismenya, tekanan dari sekolah, rekan sekerja dan orang tua murid akan memaksa mereka untuk menjadi ”pelatih soal-soal Ujian Nasional.”<br />
<br />
Pesan bahwa Ujian Nasional ini penting, juga datang dari pihak di luar sekolah. Pemerintah daerah, dinas pendidikan, bahkan Depdiknas sendiri ikut berkepentingan. Simak saja berbagai pernyataan misi dari dinas pendidikan seluruh Indonesia. Persentase kelulusan Ujian Nasional menjadi tujuan utama.<br />
<br />
Satu hal lagi yang menambah daftar panjang absurditas UN adalah solusi bagi yang tidak lulus. Sekalipun siswa berprestasi sepanjang masa belajarnya di sekolah dan karenanya mungkin diterima masuk tanpa tes di perguruan tinggi, tidak berarti ap-apa kalau kemudian ia kurang beruntung hingga tak lulus UN. Perguruan tinggi tetap meminta ijazah! Betapa sangat melecehkan proses pembelajaran!<br />
Maka kemudian Ujian Persamaan Paket C menjadi primadona. Siswa SMU yang tidak lulus UN dapat ”mencari” ijazah lewat ujian persamaan. Betapa absurdnya! Sebab ujian persamaan ini dirancang bagi mereka yang tidak berkesempatan bersekolah secara reguler. Kini ia ibarat dewa penyelamat. Logika terbalik bisa diterapkan disini : kalau perguruan tinggi itu ternyata bisa menerima ijasah persamaan bagi mereka yang tidak lulus sekolah reguler, kenapa kita repot-repot menempuh pendidikan reguler?<br />
<br />
Yang paling memprihatinkan pesan yang salah ini mempunyai efek buruk terbesar justru pada anak didik. Mereka tidak akan memiliki kesempatan untuk belajar demi memperoleh pengertian atau pemahaman. Sebab pemahaman tidak memiliki tempat di UN. Mereka tidak perlu paham untuk bisa lulus UN. Cukup menyerap apa yang diajarkan guru dan mengeluarkan lagi dengan benar pada saat yang tepat. Cukuplah dengan menghafal fakta-fakta, rumus-rumus yang dipandang benar dan mengartikulasikannya lagi lewat jawaban dalam multiple choice.<br />
Karena itu para siswa akan mengembangkan ketrampilan bagaimana menjawab soal dan bukannya belajar untuk memahami sesuatu. Seolah-olah apa yang didapat di sekolah tidak cukup, para siswa ini ramai-ramai mengikuti bimbingan belajar (istilah bimbingan belajar ini tidaklah tepat. Lebih tepat bimbingan tes). Itulah sebabnya mudah dimengerti kenapa bimbingan belajar menjadi sangat marak.<br />
Efek buruk yang lain adalah demoralisasi. Siswa yang tidak lulus akan runtuh kepercayaan dirinya, merasa tidak berharga, bodoh, dan seterusnya. Dan tekanan akan makin berlanjut karena secara berkala atas nama ingin meningkatkan mutu pendidikan, pemerintah akan terus menaikkan skor kelulusan (<span style="font-style: italic;">passing grade</span>). Maka penindasan akan terus berlanjut dan makin meningkat. Lebih banyak waktu untuk latihan soal, lebih banyak biaya untuk bimbingan belajar, akan makin banyak kecurangan yang timbul demi memenuhi target yang semu dan di lain sisi makin kurangnya waktu bagi siswa untuk dirinya sendiri, untuk interaksi dengan keluarganya, dengan teman-temannya yang pada akhirnya memicu persoalan yang lebih pelik.<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Solusi</span><br />
<br />
Segala keruwetan ini berakar dari keyakinan bahwa tes tulis adalah cara utama dan satu-satunya untuk menilai proses pembelajaran seseorang. Padahal para ahli sudah lama mengatakan bahwa tes (yang digunakan di sekolah) tidaklah dapat digunakan untuk menilai pemahaman seseorang. Tidaklah adil rasanya bahwa seluruh proses pembelajaran yang lama itu dihakimi dalam waktu yang sangat singkat dalam suasana mencekam pula.<br />
<br />
Para ahli memberitahu kita bahwa ada cara yang lebih efisien dan efektif untuk mengukur pemahaman seseorang. Cara itu misalnya : catatan pengamatan guru, portofolio, proyek-proyek, dan penugasan pada proyek yang menuntut pemahaman akan suatu hal –bukan sekadar <span style="font-style: italic;">right answer.</span><br />
Semua itu sebenarnya sudah termuat dalam KTSP, membiarkan sekolah menerapkan KTSP pada akhirnya akan meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah-sekolah kita. Pemerintah hanya perlu memberikan dukungan saja. Hingga pada akhirnya solusinya sangatlah mudah dan sederhana : pemerintah hanya perlu memberikan teladan bagaimana caranya konsisten pada keputusan yang mereka buat sendiri. Maka yang diperlukan adalah menghapus UN dan menyerahkan penilaian itu pada pihak guru dan sekolah.<br />
<br />
Kalau pemerintah tak kunjung mau menghapus UN, maka ada cara mudah yaitu : jangan jadikan UN sebagai satu-satunya penentu masa depan anak-anak kita. Jangan mau kehidupan keluarga Anda menjadi tak normal hanya gara-gara UN. Jangan biarkan UN menjadi tiran dalam kehidupan kita. Kalaulah terpaksa mengikuti UN, katakan bahwa semua itu tidak lebih dari permainan belaka sama seperti game-game yang ada di PS, Nintendo, atau komputer Namanya juga permainan kadang kalah dan kadang menang, <span style="font-style: italic;">take it easy</span>. Dan UN tidaklah mencerminkan kemampuan anak-anak kita sesungguhnya. (###)</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-8630914490414918342009-06-04T11:39:00.002+07:002013-04-12T09:55:56.382+07:00Tunjukkan Saja Jalannya<div style="text-align: justify;">
Walaupun meyakini bahwa dalam <span style="font-style: italic;">unschooling</span>, menugasi anak untuk mempelajari sesuatu hal perlu dihindari, <span style="font-style: italic;">toh</span> saya tergoda untuk mencoba memberikan <span style="font-style: italic;">assignment</span> pada proyek robot Tauhid. Beberapa waktu sebelumnya kami membeli buku “<span style="font-style: italic;">Unofficial Lego Mindstorms Inventor Guide</span>”. Dalam buku tersebut ada beberapa proyek pembuatan robot yang dirancang dari yang paling mudah sampai paling komplit.<br />
Nah, kecenderungan saya selama ini adalah berpikir linier dan selalu memulai sesuatu dari awal sampai akhir secara berurutan. Begitu pula terhadap buku ini. Saya dengan patuh mengikuti petunjuk buku tersebut mulai dari awal. Sementara Tauhid, terbiasa mengikuti ketertarikannya akan sesuatu. Tanpa memperdulikan tingkat kesulitannya. Begitu pula pendekatannya terhadap buku tersebut. Dia memilih suatu proyek yang paling menarik perhatiannya, dan pilihannya tersebut ada pada level menengah.<br />
<br />
Begitulah. Saya tahu itu dan saya tetap menugasi dia untuk memulai dari awal saja, alih-alih mengikuti kemauannya.<br />
Proyek robot yang sedang dibangun ini adalah TagBot, sebuah robot beroda (sementara ketertarikan Tauhid adalah pada robot “berkaki” yang dapat bergerak dengan cara melangkah). TagBot dapat menjelajah seluruh ruangan dan akan berbelok jika menemui rintangan. Sesuai dengan namanya robot ini dapat diajak bermain-main ”<span style="font-style: italic;">tag game</span>.” Robot ini akan terus bergerak dan akan berhenti hanya jika ada sorot lampu senter mengenai sensor cahayanya selama 2.5 detik, artinya dia telah ter-<span style="font-style: italic;">tag</span>. Tugas kita adalah mencoba menghentikan robot ini dengan menyorotkan cahaya. Dan menariknya robot ini diprogram untuk harus berbelok tiap 2 detik walaupun tidak ada penghalang di depannya.<br />
<br />
Seluruh kemampuan robot ini didapat dengan cara memprogram otak mikro komputer dengan <span style="font-style: italic;">software</span> yang disebut NXT-G. Dan semua ini harus dikerjakan oleh Tauhid. Sementara bagian perangkat keras robot ini adalah : dua motor untuk menggerakkan masing-masing roda kiri-kanan, satu motor untuk menggerakkan sistem kemudi (sama persis seperti mobil pada umumnya), satu sensor ultrasonik, satu sensor suara, dan satu sensor cahaya.<br />
<br />
Semua pemrograman pada akhirnya telah selesai dilakukan dan tiba waktunya untuk mengujinya. Dan inilah tantangannya. TagBot walaupun telah diprogram sesuai petunjuk ternyata tidak beroperasi seperti yang diharapkan. Ada masalah pada sistem penghindaran obyek. Tauhid telah memprogram TagBot agar berhenti pada jarak 12 inch dari rintangan, membelokkan roda depannya ke kiri, mundur sejauh 5 putaran roda, meluruskan roda depan pada posisi semula dan kemudian bergerak maju.<br />
Program itu mengharuskan TagBot berhenti 12 inch dari rintangan, bergerak mundur sambil berputar 90 derajat sehingga bebas dari rintangan dan kemudian bergerak maju. Kenyataannya Tagbot memang berhenti 12 inch dari rintangan, bergerak mundur, namun terjadi slip sehingga gerakan mundurnya tak mencapai 90 derajat. Akibatnya rintangan relatif masih di depannya. TagBot macet tidak mau bergerak. Perintah maju tidak bisa dieksekusi karena masih ada rintangan di depannya sementara gerakan mundur sudah dijalankan.<br />
Tak seperti biasanya Tauhid menyerah, tidak mau memecahkan masalah tersebut. Dia segera kehilangan minatnya. Saya tahu kenapa dia segera kehilangan minatnya, pastilah karena proyek itu bukan merupakan kemauannya, proyek itu adalah proyek ”ayahnya”.<br />
<br />
Apa yang saya lakukan itu (penugasan) memang sebenarnya hal yang dihindari dalam pembelajaran anak-anak <span style="font-style: italic;">unschooling</span>. Sebab anak-anak selalu punya cara tersendiri yang paling efektif baginya.<br />
Peristiwa ini makin menguatkan saya akan prinsip diatas, namun toh saya tidak akan melewatkan begitu saja. Inilah kesempatan bagi saya untuk membuka akses bagi Tauhid tentang bagaimana cara orang dewasa menghadapi masalah dan secara khusus bagaimana cara layaknya seorang insinyur bekerja.<br />
<br />
Kami bersama sama menganalisa program tersebut. Program awal TagBot memerintahkan agar motor A penggerak kemudi berputar 36 derajat, menghasilkan belokan roda depan yang tajam. Kemudian untuk meminimalisir gesekan, motor B penggerak roda belakang kiri dan motor C penggerak roda belakang kanan sengaja diprogram agar tidak sinkron, jadi bebas bergerak sendiri-sendiri.<br />
Kami modifikasi kedua motor tersebut dengan mencermati fenomena gerakan roda. Saat TagBot bergerak mundur sambil berputar membentuk kurva 90 derajat kekiri, maka supaya mulus roda kanan harus berputar lebih banyak relatif terhadap roda kiri. Jadi kami kami buat roda kanan berputar sejauh 5 putaran sementara roda kiri 3 putaran. Hasilnya? TagBot tetap macet. Roda kanan memang berputar 5 putaran, tetapi roda kiri tidak mampu menyelesaikan putarannya akibat gesekan besar (roda kiri seolah-olah jadi sumbu putar dari gerakan roda kanan).<br />
<br />
Kami coba cara lain. Dan saya jadi ingat bagaimana mobil pada umumnya bergerak. Roda belakang kanan-kiri mobil selalu bergerak bersama-sama karena sumber putarannya sama, gardan. Jadi kini kami ubah program itu agar motor penggerak roda kanan dan kiri bergerak secara sinkron. Hasilnya? TagBot mampu bergerak mundur, namun tidak mulus karena roda depan yang dalam kondisi berbelok seakan terseret.<br />
Saya tunjukkan padanya bahwa belokan roda depan yang terlalu tajam sementara TagBot bergerak kebelakang akan menimbulkan gesekan yang besar pada roda depan. Jadi kami mencoba untuk memperkecil belokan. Akhirnya kami dapat putaran kemudi yang paling optimum : 25 derajat.<br />
Lewat kombinasi putaran kemudi roda depan 25 derajat, dan putaran roda kanan-kiri tersinkronisasi dengan jumlah putaran 3 putaran roda, TagBot kami bergerak mulus.<br />
<br />
Saya lihat lagi binar semangat di mata Tauhid dan tak perlu saya katakan padanya bahwa dia telah belajar sesuatu.<br />
Sangat penting bagi seorang anak untuk tahu bagaimana orang-orang dewasa di sekitarnya bekerja, menyelesaikan masalah, menghadapi kegagalan. Dan kita tak perlu mengajari atau menceramahi mereka tentang hal ini. Cukup berikan akses padanya, tunjukkan saja jalannya, dan mereka akan melakukan selebihnya (***)</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-44501971365403217882009-05-17T11:50:00.001+07:002012-01-13T17:21:49.609+07:00Sekolah Berprestasi vs Tradisi Keilmuan<div style="text-align: justify;">
Biasanya saat mendengar tentang sekolah berprestasi, ingatan kita akan langsung tertuju pada sekolah yang lulusannya mampu menembus sekolah favorit di atasnya, atau sekolah yang lulusannya mampu menembus perguruan tinggi ternama, atau juga sekolah yang muridnya memenangi berbagai kejuaraan.<br />
Sejajar dan inheren dengan istilah itu adalah anak berprestasi. Atas nama prestasi itulah kemudian muncul sekolah-sekolah yang mengedepankan prestasi (baca : pencapaian akademis) dan konsekuensinya sekolah-sekolah itu biasanya mahal. Kita sebagai orang tua pun dengan rela meroboh kocek lebih dalam demi pendidikan anak-anak kita tersebut.<br />
<br />
Masih belum cukup, kadang-kadang kita bekali anak-anak kita itu dengan berbagai macam kursus. Kita dorong anak kita untuk menjadi yang terbaik. Tanpa sadar kita telah memberlakukan sekolah sebagai ajang kompetisi, dan pada akhirnya kita juga menuntut anak kita untuk menjadi juara dalam kompetisi itu. Bukankah kita kerap mendorong anak kita menduduki rangking nomor satu di sekolahnya?<br />
Sekolah kini menjadi ajang untuk mengalahkan orang lain, juga ada kasta-kasta di dalamnya : kasta anak pandai dan kasta anak bodoh.<br />
<br />
Salahkah keinginan untuk berprestasi itu? Sama sekali tidak. Masalahnya ternyata setelah sekian lama dunia pendidikan kita bergelut dengan sistem dan kasta-kasta ini, tidak ada hasil signifikan darinya. Mutu pendidikan kita tetap rendah dan para lulusannya tetap tidak bisa apa-apa. Bukan keinginan prestasi itu yang salah, tetapi ternyata proses pencapaiannya yang salah. Prestasi yang kita pahami ternyata telah tereduksi menjadi sekadar pencapaian akademis dan angka-angka (dan juga piala-piala). Kita telah melupakan satu sisi terpenting dari ilmu pengetahuan : tradisi keilmuan<br />
<br />
Tradisi keilmuan berbeda dengan prestasi keilmuan. Prestasi keilmuan bersifat sesaat. Itulah sebabnya kita kemudian bisa paham, kenapa seseorang dengan nilai matematika yang bagus ternyata tidak mampu berpikir logis. Atau seseorang dengan nilai ilmu alam yang tinggi ternyata tidak mampu memecahkan masalah dengan ilmunya itu. Seseorang dengan nilai pelajaran sejarah yang tinggi ternyata tidak membuat dia paham terhadap lingkungan sosialnya, hubungan antar manusia dan antar bangsa, serta kepekaan kebangsaan dan kemanusiannya<br />
<br />
Sementara tradisi keilmuan bersifat permanen. Seorang anak yang memiliki tradisi keilmuan tetap akan belajar sepanjang hayatnya. Dia tetap akan belajar dan mencoba mencari jawaban atas tantangan jamannya. Mereka akan mencari pencapaian baru sepanjang hidupnya. Mereka akan belajar tidak untuk sekadar sebuah prestasi, melainkan untuk mengubah diri mereka sendiri. Untuk berproses menjadi manusia paripurna.<br />
<br />
Karena itu penting bagi kita untuk mengembangkan tradisi keilmuan ini. Tradisi untuk selalu ingin tahu, mempunyai daya eksplorasi tinggi, berpikir secara runut, berpikir logis, dan seterusnya. Bahwa kemudian tradisi keilmuan ini diikuti oleh prestasi keilmuan itulah yang kita harapkan. Tetapi kita ingin prestasi itu dicapai terus-menerus dan karenanya pencapaian itu mungkin tidak tercatat di ruang-ruang kelas atau pada lomba-lomba. Prestasi keilmuan mereka akan tercatat dalam ruang kehidupan mereka. Terpatri dalam masalah-masalah hidup yang mampu mereka pecahkan dan mereka sumbangkan bagi sesama manusia. (###)</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-53844138425399170962009-05-09T08:24:00.001+07:002012-01-13T17:22:08.814+07:00Mendidik Sesuai Kecerdasan Anak<div style="text-align: justify;">
Sesungguhnya setiap anak dilahirkan cerdas. Inilah paradigma baru pendidikan yang sedang berkembang di dunia. Kenyataan ini memang berlawanan dengan persepsi yang diyakini selama ini bahwa anak cerdas berjumlah terbatas, seakan-akan mereka menempati strata tertentu. Adanya penemuan terbaru ini memang diharapkan akan mengubah pendekatan pendidikan yang selama ini terlanjur mapan.<br />
<br />
Menurut Dr Thomas Amstrong, pakar pendidikan dari Amerika setiap anak dilahirkan dengan membawa potensi yang memungkinkan mereka untuk menjadi cerdas. Sifat yang menjadi bawaan itu antara lain : keingintahuan, daya eksplorasi terhadap lingkungan, spontanitas, vitalitas, dan fleksibilitas. Dipandang dari sudut ini maka tugas setiap orang tua dan guru hanyalah mempertahankan sifat-sifat yang mendasari kecerdasan ini agar bertahan sampai anak-anak itu tumbuh dewasa. Mengapa demikian? Karena ternyata diketahui kualitas kecerdasan ini bisa rusak karena adanya sebab tertentu.<br />
<br />
Ironisnya pengaruh kuat yang merusak potensi kecerdasan itu ternyata datang dari lingkungan terdekat mereka : rumah dan sekolah!<br />
Situasi rumah yang menimbulkan depresi dan keterasingan berperan memupus bakat alamiah ini. Tekanan juga bisa datang dari orang tua yang karena sebab tertentu malah menghambat kreatifitas, keingintahuan, kegembiraan dalam bermain anak-anak. Ambisi orang tua agar anak-anak mereka meraih prestasi tertentu mendorong anak-anak ini untuk tumbuh terlampau cepat melampaui usia mental mereka dan pada saat bersamaan menghilangkan kegembiraan masa kecil mereka.<br />
Padahal para ahli mengingatkan bahwa anak belajar dari permainan mereka. Bagi anak-anak bermain bukan aktifitas remeh melainkan aktifitas yang serius terutama bagi perkembangan mereka.<br />
<br />
Sayangnya yang terlihat di masyarakat kita justru kenyataan sebaliknya. Di usia sangat dini mereka harus kehilangan kegembiraan masa kecil mereka. Anak-anak kerap menanggung beban keinginan orang tua mereka sendiri dengan terpaksa mengikuti berbagai macam kursus : mulai kursus bahasa asing, sempoa, piano dan sebagainya. Sebenarnya mengikuti berbagai kursus itu tidak menjadi masalah asal keinginan itu datang dan atas kemauan anak itu sendiri. Prinsipnya anak-anak itu tidak kehilangan kegembiraan dalam menjalaninya dan tidak kehilangan masa bermain mereka.<br />
Sementara itu di sekolah, perusakan potensi kecerdasan alami itu terjadi lewat kurikulum yang terlampau kaku, tidak fleksibel atau malah membebani. Situasi sekolah yang tidak menyenangkan, guru yang mengajar dengan cara yang membosankan juga ikut andil menyumbang terkuburnya potensi alami tersebut.<br />
<br />
Bertolak dari kenyataan itulah perlu dikembangkan pendekatan pendidikan yang menjadi alternatif bagi sekolah pada umumnya. Sekolah alternatif ini haruslah dirancang atas pendekatan bahwa setiap anak itu mempunyai kecerdasannya sendiri. Lingkungan sekolah dirancang agar anak-anak tumbuh dengan kreatifitas mereka sendiri, tidak kehilangan kegembiraan masa kecil mereka, dan membuka ruang yang lebar untuk mengeksplorasi lingkungannya. Kecerdasan alami anak dirangsang lewat kegiatan sederhana seperti bercerita, permainan, kunjungan ke tempat tertentu, dan mengajukan pertanyaan kritis.<br />
<br />
Sekolah tersebut haruslah juga menghilangkan sistem ranking. Juga tidak ada tes psikologi untuk mengukur kecerdasan seorang anak. Tes psikologi untuk mengukur IQ yang kita kenal sekarang ini jauh dari memadai untuk mengukur kemampuan otak manusia. Sistem rangking malah menciptakan pelabelan di sekolah. Ada anak pintar dan ada anak bodoh. Pendekatan pendidikan terbaru dikembangkan atas keyakinan bahwa setiap anak mempunyai kecerdasannya sendiri dengan cara yang benar-benar berbeda dengan anak lain. Karena itu dalam sistem ini upaya membanding-bandingkan antara anak satu dengan anak lainnya dihindari.<br />
<br />
Sebagai konsekuensinya kegiatan belajar mengajar menggunakan pendekatan Multiple Intelegencies yang dikembangkan oleh pakar neurosains Dr Howard Gardner. Menurut teori ini manusia mempunyai delapan macam kecerdasan sementara sistem pendidikan pada umumnya hanya mengembangkan dua kecerdasan. Kecerdasan itu adalah : kecerdasan linguistik, matematis-logis, viso-spasial, musik, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Anak didik dipetakan menurut kedelapan kecerdasan ini dan mendidik mereka dengan cara berbeda sesuai dengan tipe kecerdasan yang dimiliki masing-masing anak. Karena itu metode pengajaran yang diterapkan bisa sangat khas. Dalam mengajarkan matematika misalnya, maka cara mengajar untuk anak dengan tipe kecerdasan linguistik berbeda dengan anak bertipe kecerdasan matematis-logis dan berbeda pula untuk anak dengan tipe kecerdasan viso-spasial. Pada umumnya para pengajar akan berkeberatan jika murid-murid mereka bergerak selama pelajaran berlangsung, disisi lain anak dengan tipe kecerdasan kinestetik –yang selalu bergerak- akan tersiksa jika mereka harus duduk diam selama pelajaran berlangsung, padahal anak dengan tipe ini akan sangat cepat menyerap pelajaran justru dengan membiarkannya bergerak. Pola inilah yang dikenal dengan mendidik sesuai kecerdasan anak.<br />
<br />
Para pendidik di sekolah seperti ini mempunyai keyakinan bahwa tiap anak mempunyai kecepatan dan waktu tersendiri dalam mempelajari atau menguasai sesuatu. Jadi tidak perlu memaksa anak yang belum bisa membaca untuk bisa membaca misalnya. Sebab jika tiba saatnya anak ini akan mampu membaca dengan sendirinya bahkan kemampuannya bisa melampaui anak yang mampu membaca di usia yang lebih dini. Sangat penting untuk disadari adalah menciptakan kondisi yang mampu membuka gerbang kecintaan anak-anak akan pembelajaran. Dengan cara itu diharapkan kita akan mewariskan generasi pembelajar yang mampu untuk belajar dan mengembangkan diri mereka sendiri sepanjang hidup mereka. Dan hal itu bisa dicapai dengan cara menghindarkan setiap kondisi yang membuat mereka justru berhenti atau bahkan membenci proses pembelajaran itu sendiri.<br />
(###)<br />
<br />
<br /></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-86856842532100461202009-05-07T20:32:00.001+07:002012-01-13T17:22:27.945+07:00Pendidikan Yang Membebaskan<div style="text-align: justify;">
Pendidikan dalam arti luas merupakan kebutuhan asasi manusia. Itu karena pendidikan tidak bisa lepas dari keseharian kita. Kita menerima pendidikan awal dari orang tua kita, lingkungan kita, dan masyarakat kita. Pendidikan berjalan seiring dengan kemanusiaan dan budaya manusia. Kualitas kemanusiaan dan budaya kita dipengaruhi oleh kualitas pendidikan kita. Dalam hal ini pendidikan dipandang sebagai sarana untuk membebaskan manusia dari persoalan hidupnya : kebodohan dan keterbelakangan.<br />
<br />
Hanya saja pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia lebih dipahami sebagai sekadar transfer pengetahuan belaka. Secara sepihak murid menerima informasi sepihak dari guru tanpa adanya kebebasan berkreasi. Guru menyampaikan informasi yang nyaris tidak bisa dibantah dan tidak bisa salah, kurikulum syarat materi yang sangat membebani, dan ditambah lagi murid menjalani pendidikan di sekolahnya dengan syarat tekanan.<br />
Bukankah telah kita ketahui bahwa beban pelajaran sekolah-sekolah kita tidak hanya membebani anak-anak kita bahkan membebani orang tua dengan PR yang bertumpuk-tumpuk? Akibatnya sekolah-sekolah kita tidak lagi membebaskan anak didik dari ketidakberdayaan melainkan justru memasungnya. Dimasa-masa awal usia kanak-kanaknya, anak didik telah kehilangan kegembiraannya. Padahal penelitian terbaru justru mengungkapkan bahwa kecerdasan dan kejeniusan seorang anak justru dibangun lewat kegembiraan, permainan, dan spontanitas. Menghilangkan faktor-faktor ini diyakini akan mematikan potensi-potensi kecerdasan sejak dini.<br />
<br />
Sekolah-sekolah seperti ini mengguyuri dan membebani anak didik dengan hapalan teori-teori dan informasi, berusaha untuk belajar sekadar untuk menjawab soal-soal ujian, dan pada ujungnya untuk sekadar lulus dan mempunyai gelar. Dalam lingkungan seperti itu tidak penting benar apakah yang mereka pelajari sesuai dengan realitas disekitarnya. Sekolah-sekolah kita telah terjebak dengan verbalisme. Seorang murid bisa saja hapal suatu rumus tapi tidak pernah tahu apa aplikasinya, mereka juga hapal nama para sastrawan dan karyanya tetapi tidak pernah membaca karya sastra apalagi mengapresiasinya, mereka tahu bagaimana mengkonversi satuan derajat <span style="font-style: italic;">Fahrenheit</span> ke derajat <span style="font-style: italic;">Celcius</span> tapi tidak pernah tahu cara menggunakan thermometer, mereka tahu istilah fotosintesis tapi tak pernah mengamatinya, mereka hapal tanggal-tanggal bersejarah tapi justru gagal belajar dari sejarah, mereka tahu tentang reboisasi tetapi tak pernah sekalipun belajar menanam pohon dan merawatnya. Dengan demikian pendidikan telah tercerabut dari realitasnya, terlepas dari problem riil masyarakat.<br />
<br />
Pendidikan yang verbalistik lebih mengedepankan hapalan dan bukannya pemahaman, menyukai formulasi dan bukannya substansi, lebih mengagungkan prestasi belajar dan bukannya tradisi ilmiah. Produk pendidikan verbalistik ini mungkin mampu menghasilkan sarjana tapi mereka tak kunjung mampu menjadi <span style="font-style: italic;">problem solver</span>. Bahkan mungkin menghasilkan doktor tetapi disertasinya menjadi yang pertama dan sekaligus yang terakhir. Dengan demikian produk pendidikan semacam ini hanya menghasilkan status tertentu di masyarakat dan bukannya mentransformasi masyarakat seperti yang diharapkan dari sebuah proses pendidikan.<br />
<br />
Kondisi pendidikan kita yang mayoritas seperti ini harus dikembalikan ke proporsi yang sebenarnya dan diletakkan pada filsafat dasar pendidikan : bahwa ia hadir untuk membebaskan manusia dari permasalahan dan kesulitan hidupnya. Kita perlu pendidikan yang membebaskan. Langkah pertama yang bisa ditempuh adalah dengan menghadirkan konsep pendidikan yang menanamkan prinsip belajar untuk belajar. Prinsip ini menjadi relevan dengan tabiat jaman kita dimana segala sesuatu berubah dengan cepat. Apa yang kita ketahui hari ini bisa menjadi usang dalam waktu singkat. Karena itu hapal segala fakta dan serba tahu akan segala sesuatu menjadi tidak penting lagi. Yang terpenting justru bagaimana cara mendapatkan fakta-fakta dan bagaimana belajar sesuatu.<br />
<br />
Konsep alternatif ini menekankan bahwa pengetahuan bukannya diperoleh dengan hapalan melainkan didapat dengan “mengalami”. Fakta-fakta diketahui bukan dengan diceritakan melainkan didapatkan. Teori-teori dan rumus-rumus tidak melulu disajikan tapi diiringi dengan bukti-bukti empirik dan juga bagaimana teori dan rumus itu bekerja. Konsep ini mengajarkan ketrampilan yang sangat penting : bagaimana caranya mempelajari sesuatu, dengan demikian murid disiapkan untuk suatu jaman yang membentang di depan mereka dan bukannya terpasung dengan pengetahuan masa kini yang segera menjadi usang kelak.<br />
<br />
Penanaman prinsip belajar untuk belajar mengharuskan perubahan mendasar pada sekolah. Sekolah harus mampu menghadirkan proses belajar yang menyenangkan, sehingga murid tidak lagi trauma dengan sekolah yang berujung pada trauma pada proses belajar. Sekolah bukan ajang kompetisi dimana yang juara akan jumawa dan yang kalah akan kecil hati. Sedari awal ditanamkan pengertian pada murid bahwa terlebih penting adalah membangun tradisi ilmiah dan bukannya logika lomba. Mereka tidak perlu mengalahkan siapa-siapa disini. Konsekuensinya tidak ada sistem rangking disini, tidak ada kasta kelas untuk anak pandai dan kelas untuk anak rata-rata, tidak ada kelas akselerasi dan kelas untuk anak-anak kebanyakan.<br />
<br />
Dan guru, dalam sekolah alternatif ini, tidak lagi bercerita dan murid mendengarkan. Juga guru tidak lagi memegang kebenaran mutlak, ia bisa saja salah dan tidak malu mengakui kesalahannya. Hubungan guru-murid adalah hubungan dialogis : mereka mempelajari obyek ajar yang sama dan merumuskan bersama (dalam istilah Paulo Freire: guru yang murid dan murid yang guru). Dengan demikian proses belajar mengajar menjadi proses untuk memahami sesuatu. Dalam proses ini tidak hanya murid yang bisa belajar dari guru tetapi guru pun bisa belajar dari muridnya. Guru dan murid bersama-sama mempersoalkan hal-hal yang menjadi problem riil di masyarakat.<br />
<br />
Keberhasilan penanaman prinsip belajar untuk belajar ditandai dengan keluaran (baca : lulusan) yang senantiasa terus belajar dan terus mengembangkan dirinya secara mandiri, mampu melakukan transformasi sosial di masyarakatnya dan mampu mengatasi tantangan jamannya (***)</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-66711535672024581382009-05-06T16:25:00.001+07:002012-01-13T17:22:53.347+07:00Berinteraksi Dengan Al-Qur'an<div style="text-align: justify;">
Setiap orang tua pasti bangga kalau anaknya mampu membaca dan menghapal Al-Qur’an dengan baik. Bahkan jumlah hapalan anak-anak kita tersebut kerap kali dijadikan ukuran keberhasilan pelajaran agama di sekolah. Hapalan banyak berarti agama telah diajarkan dengan baik. Kita ingin meneladani para salafus shalih kita yang banyak diantara mereka telah hapal pada usia sangat muda. Akibatnya kita terobsesi untuk menargetkan hapalan anak-anak kita akan ayat-ayat Al-Qur’an.<br />
<br />
Benarkah target-target itu? Tentu saja boleh-boleh saja. Tetapi kita harus ingat bahwa kita bukan orang yang berbahasa Arab. Lain halnya dengan para salafus shalih yang berbahasa Arab, dimana hapalan mereka akan diikuti oleh pemahaman akan arti ayat, hapalan Al-Qur’an pada anak-anak kita tidak selalu beriringan dengan pemahaman akan arti ayat Al-Qur’an.<br />
Karena itu bisa saja anak-anak kita hapal beberapa juz dari Al-Qur’an , tetapi tanpa pemahaman akan arti ayat, maka hapalan tadi ibarat deretan angka telpon tanpa makna dalam memori anak kita.<br />
<br />
Kita menginginkan anak-anak berinteraksi dengan Al-Qur’an lebih dari sekadar hapalan. Al-Qur’an harus hidup dalam keseharian hidup mereka. Ketika mereka menghafal Surat Al-Humazah, misalnya : mereka harus memahami bahwa sifat mengumpat itu tercela sehingga tidak melakukannya. Ketika mereka menghapal Surat Al-Lahab mereka harus tahu mengapa Abu Lahab sampai dikecam oleh Allah sampai sedemikian rupa. Ketika menghapal Surat Al-Fil, anak-anak memahami bahwa pasukan yang sedahsyat apapun yang menentang Allah akan dihancurkan. Ketika menghapal Surat Al-Buruj anak-anak akan dipahamkan bahwa iman itu harus dipertahankan walau nyawa taruhannya. Saat menghapal Surat At-Takatsur anak-anak akan paham bahwa sifat konsumtif dan menumpuk harta itu tercela dan bahkan membinasakan.<br />
Tentu saja target hapalan mungkin tidak akan cepat tercapai dengan metode ini. Namun bukankah lebih penting untuk memahami Al-Qur’an dan kemudian mengamalkannya daripada menghapal mati? Kenapa kita tidak meneladani para sahabat yang tidak menambah hapalan mereka sebelum mereka mampu mengamalkannya?<br />
<br />
Interaksi anak kita dengan Al-Qur’an bukan diukur dengan seberapa banyak surat yang telah dihapalkannya. Melainkan diukur dengan pemahaman dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Alangkah indahnya jika misalnya anak-anak kita langsung teringat pada Allah saat ada hembusan angin kencang karena teringat suatu ayat dalam Al-Qur’an yang menceritakan kebinasaan suatu kaum karena angin topan? Atau hati mereka berdesir teringat Allah karena melihat awan gelap, karena ingat pula bahwa Allah pernah menghancurkan suatu kaum dengan mengirim awan gelap?<br />
Tantangannya ada pada kita sebagai orang tua : maukah kita bersabar memahamkan pengertian-pengertian itu dan tidak terburu-buru sekedar memperbanyak jumlah hapalan mereka. (###)</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-70918959652733367052009-05-05T15:18:00.001+07:002012-01-13T17:23:12.340+07:00Mengajarkan Agama<div style="text-align: justify;">
Setiap kali muncul permasalahan yang menyangkut moral : apakah itu tawuran, ketergantungan terhadap narkoba, perilaku hedonis, dan kebebasan seksual maka sebab pertama kali yang dilontarkan adalah kurangnya pengajaran agama. Entah itu berupa taklim, tabligh akbar, dan kalau itu menyangkut pelajar maka sebabnya adalah kurangnya jam pengajaran agama di sekolah-sekolah.<br />
<br />
Apakah kemudian banyaknya taklim, tabligh, ceramah agama, dan bertambahnya jam pelajaran agama berhubungan dengan makin baiknya moral seseorang? Sayangnya tidak sepenuhnya berhubungan. Betapa banyak ceramah agama, khutbah-khutbah, dan jam pelajaran agama yang ditambahkan tapi disisi lain ternyata korupsi, ketidakpedulian sosial, perilaku seksual bebas seolah tidak berkurang. Kalangan pesantren tahu persis bahwa Islam mengajarkan kebersihan tetapi kebanyakan pesantren ternyata kumuh dan kotor. Islam mengajarkan perilaku disiplin tetapi bangsa ini dikenal dengan parahnya penghargaannya atas waktu. Islam mengajarkan bahwa manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi orang lain tetapi alangkah terkenalnya kita dengan ketidakpedulian dan sikap acuh.<br />
<br />
Ternyata agama bukan sekadar pengajaran, bukan sekadar perkara menyampaikan suatu nilai pada seseorang, bukan sekadar tahu hukum halal dan haramnya sesuatu. Sedikit contoh di atas menunjukkan pada kita sesuatu yang kontradiktif.<br />
Berkaca dari kondisi itu, Kita seharusnya mencoba pendekatan lain atas “pengajaran” agama. Agama tidak melulu harus diajarkan, karena kalau hanya itu yang dilakukan maka agama hanya menjadi kesadaran kognitif belaka. Agama menjadi sekadar sekumpulan pengetahuan tentang pahala dan dosa, tentang anjuran dan larangan, dan tentang rangkaian peristiwa masa lalu.<br />
Lebih dari sekadar pengajaran, agama haruslah dikenalkan dengan menanamkan kecintaan, penghayatan, dan pengamalan. Sekolah seharusnya menggunakan pendekatan integral atas agama. Karena itu tidak ada jam pelajaran agama secara formal disini. Agama dikenalkan disemua lini kehidupan sekolah. Anak-anak menghayati nilai-nilai agama lewat pelajaran matematika, lewat pelajaran sains, ilmu sosial, dan bahkan lewat interaksi keseharian mereka. “Jam pelajaran agama” bagi mereka ada pada keseluruhan aktivitas mereka di sekolah. Agama haruslah meliputi segala sesuatu.<br />
Karena itu bukan hal yang aneh kalau saat mengajar sains seorang guru akan memaparkan ayat Al-Qur’an atau hadits yang terkait dengan topik pembahasan sains saat itu. Atau sebaliknya saat momen pemotongan hewan qurban, seorang anak akan belajar matematika, bahasa Indonesia, sains, akhlak dan merasakan bagaimana rasanya mengorbankan sesuatu yang paling mereka cintai.<br />
<br />
Dengan demikian diharapkan anak-anak kita memperlakukan agama sebagai sebuah sistem hidup yang melekat pada realitas keseharian mereka, melekat pada aktivitas mereka, dan melekat pada cara berpikir mereka. (###)<br />
<br /></div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-49734461265888103052009-04-25T20:20:00.000+07:002012-01-13T17:23:28.416+07:00Sekolah yang Tidak Lagi Memadai<div align="justify">
Seperti apakah dunia di masa depan yang akan dihadapi anak-anak kita? Yang kita tahu pasti bahwa dunia yang dihadapi pastilah berbeda. Namun seberapa berbeda? Dalam hal ini mungkin setiap kita tidaklah mempunyai persepsi yang sama. Untunglah para futurolog membantu kita menggambarkan seperti apa dunia di masa depan itu. Dalam dunia yang makin kompleks dan berubah sangat cepat itu ternyata dibutuhkan orang-orang dengan kemampuan pembelajaran yang cepat, kemampuan berpikir kreatif, fleksibel, adaptif, mampu bekerja sama.<br />
<br />
Umumnya kita percaya bahwa dunia sekolah akan membekali anak-anak kita dengan kemampuan tersebut. Namun kenyataannya mengejutkan. Kemampuan sekolah-sekolah kita untuk menyesuaikan dengan tuntutan jaman ternyata tidak memadai. Segala sesuatu berubah dengan cepat kecuali sekolah-sekolah kita. Sekolah-sekolah kita dibangun di atas pondasi filosofi pendidikan yang ketinggalan jaman dan hanya sedikit sekali berubah sejak awal digagas lebih dari seratus tahun yang lalu. Sekolah kita dibangun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di abad industri sementara itu kita dengan sangat cepat bergerak menuju masyarakat abad informasi. Tentu saja cara hidup, tantangan yang dihadapi, dan kebutuhan masyarakat di dua abad yang berbeda tersebut akan berbeda pula.<br />
<br />
Colin Rose dalam buku <em>Accelerated Learning</em> menginformasikan bahwa ada dua ketrampilan pokok yang harus dikuasai, yaitu : Belajar Bagaimana Belajar dan Belajar Bagaimana Berpikir. Dia juga menyarankan beberapa perubahan yang harus dilakukan oleh sekolah-sekolah agar mampu mempersiapkan generasi abad 21.<br />
Namun kabar buruknya : supaya efektif perubahan itu harus mencapai tingkatan perubahan ditingkat sistem dan kita tahu perubahan ditingkat sistem membutuhkan waktu yang lama sampai kemudian semua menjadi terlambat. Dunia pendidikan di seluruh dunia menghadapi krisis besar.<br />
<br />
Kabar baiknya, masih menurut Colin Rose, ada alternatif lain yang bisa kita lakukan : <em>homeschooling</em>. Dengan kendali berada penuh di tangan kita dan dengan informasi yang melimpah kita bisa melakukan reformasi pendidikan yang disarankan oleh para ahli itu tanpa harus menunggu perubahan di tingkat sekolah. Fleksibilitas <em>homeschooling</em> tak tertandingi oleh sekolah paling baik manapun. Fakta menunjukkan di Amerika Serikat prestasi anak-anak <em>homeschooling</em> secara rata-rata lebih baik dibandingkan anak-anak di sekolah umum.<br />
Bagaimana di Indonesia? Adanya keributan dalam penerapan Ujian Nasional yang mempopulerkan Pendidikan Kesetaraan Paket C ibarat rahmat yang tersembunyi bagi kita : ijazah Paket C diakui sama dengan ijazah SMA dan karenanya bisa diterima oleh universitas di Indonesia. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian Paket C ? Sayangnya tidak ada data sampai saat ini, namun untuk ujian serupa di Amerika dan Inggris rata-rata diperlukan waktu 3 – 12 bulan.<br />
Dengan demikian alih-alih membuang waktu dan membebani anak kita selama 12 tahun di sekolah formal, lebih baik mempersiapkan anak kita dengan pendekatan pendidikan mutakhir, menghubungkannya dengan sumber ilmu pengetahuan yang bisa diperoleh tanpa batas, menumbuhkan kualitas kepribadian yang dibutuhkan untuk abad mendatang, dan selebihnya mempersiapkan mereka untuk masuk universitas dengan lebih dahulu menempuh ujian Paket C.<br />
Saya percaya hal ini akan lebih mudah dilakukan karena anak-anak <em>homeschooling</em> mempunyai sikap yang lebih positif terhadap proses pembelajaran, lebih mandiri, dan lebih punya integritas. (###)</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-4097366209133800782009-04-25T20:16:00.000+07:002013-04-12T09:53:29.975+07:00Catatan Seorang Ayah yang Diuji<div align="justify">
Hari Jum’at dan Sabtu, 17-18 Agustus 2007. Kami berdua, aku dan anak tertuaku, Lazuardi Tauhid (9 tahun) bersama rombongan menghabiskan liburan ini untuk pergi ke Pulau Peucang, sebuah pulau kecil di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Dari Labuan kami masih harus berkendara kurang lebih selama 90 menit menuju sebuah kota nelayan kecil, Sumur. Dari Sumur kami masih harus naik perahu kecil menuju Pulau Peucang selama antara 2 – 3 jam, tergantung dari cuacanya.<br />
<br />
Aku menyempatkan untuk mengajak Tauhid berpetualang ke pulau ini, bukanlah tanpa maksud. Ini adalah sebuah program dalam rangka <em>Unschooling</em>-nya Tauhid. Aku bermaksud memaparkan ia pada dunia nyata, ya sebuah dunia yang jarang diperkenalkan di sekolah.<br />
Maka dimulailah petualangan itu. Semua baik-baik saja pada awalnya : laut cukup tenang, perahu pun melaju. Tak sampai 15 menit, Tauhid sudah mulai tidak bisa diam. Ia segera saja menjelajah seluruh perahu kecil itu. Untuk melakukannya dia harus berjalan di bibir perahu, berpegangan pada bagian atap perahu sementara tidak sampai setengah meter di bawahnya laut siap menyambutnya kalau dia jatuh. Aku memperingatkannya untuk berhati-hati. Apa jawab Tauhid ? : “Ayah, aku tahu . . . aku tahu . . . . “.<br />
<br />
Satu jam kemudian laut mulai bergelora. Kapal kecil kami di ombang-ambingkan ke kanan dan ke kiri. Gelombang laut yang cukup besar bahkan menghantam dinding perahu dan airnya tempias membasahi tubuh kami. Dan itu berlangsung kurang lebih 2 jam ! Selama waktu itu, bukannya masuk ke dalam kabin penumpang, Tauhid memilih berada di luar bersamaku, rela berbasah-basah dan rela menanggung kengerian melihat gulungan ombak laut yang terus menerus menghantam dinding perahu. Seandainya mau dia bisa saja masuk dalam kabin penumpang, dan kengerian akan berkurang karena ia tidak melihat gelombang laut. Tapi tidak. Ia memilih untuk tetap di luar.<br />
<br />
Dan itu mulai mencemaskanku. Sebagai orang tua bisa saja aku melarangnya untuk berada di luar. Atau sedari awal memintanya untuk berada di kabin penumpang sepanjang perjalanan. Tapi itu berarti menghianati prinsip yang selama ini aku pegang : mencoba untuk mempercayai dia dan memperlakukan dia setara seperti bagaimana halnya orang dewasa diperlakukan. Aku belajar untuk percaya bahwa Tauhid tahu apa yang harus dia lakukan untuk hidupnya. Tapi kini aku benar-benar diuji. Benarkah aku percaya anakku ini tahu apa yang seharusnya ia lakukan? Benarkah aku mempercayai dia untuk membuat keputusannya sendiri?<br />
Kerapkali naluriku mendesakku untuk melarang ini dan itu, mencoba untuk mengarahkan sesuatu, dan berpikir bahwa seorang anak tidak tahu apa-apa.<br />
Inilah dua jam yang berat dalam hidupku. Inilah transisi dari apa yang aku dan istriku coba terapkan dalam pendidikan anak-anak kami, khususnya Tauhid.<br />
<br />
Dan akhirnya aku lulus! Aku berhasil memperlakukan Tauhid sebagai layaknya orang dewasa yang tahu apa yang harus dia lakukan. Alih-alih mencoba untuk menggunakan “wewenang orang tua” pada Tauhid, akau membiarkannya memutuskan sesuatunya sendiri. Dan ternyata dia melakukannya dengan baik. Alih-alih dia takut, wajahnya biasa-biasa saja menghadapi hantaman gelombang itu.<br />
<br />
Mendekati pantai Pulau Peucang, gelombang mulai tenang. Dan itu kugunakan untuk mengamati Tauhid. Cara dia bergerak, cara dia menjaga dirinya agar tidak tercebur ke laut saat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dalam kapal, cara dia berkomunikasi dengan teman-temanku, . . . . . . . Sungguh seperti bukan anak berumur 9 tahun.<br />
Tauhid juga mengundang kekaguman teman-temanku, mereka memujinya secara langsung atas keberanian Tauhid selama di perahu.<br />
Beberapa teman menanyaiku : bagaimana kau mengajarinya? Aku hanya nyengir, tak menjawab. Sebab sesungguhnya tak ada yang mengajari Tauhid.<br />
Dan ini mengukuhkan prinsip yang aku yakini bahwa sesungguhnya anak-anak itu pembelajar alami. Mereka akan belajar apa saja yang mereka rasa menarik bagi mereka dan penting bagi mereka. Tanpa perlu diarahkan. Tanpa perlu diatur-atur.<br />
Peran kita hanyalah menyediakan sarana yang mereka butuhkan, mempercayai mereka, menjawab pertanyaan mereka, dan menjadi salah satu model bagi mereka.<br />
Tidak lebih ! (***)</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-25638953265466007402009-04-04T23:08:00.000+07:002013-04-12T09:57:19.668+07:00Berawal di Akhir, Berakhir di Awal<div align="justify">
Ungkapan tersebut saya ambil dari Menristek Indonesia yang legendaris, B.J Habibie. Itulah pula prinsip beliau dalam penguasaan iptek untuk Indonesia. Alih-alih memulai dengan riset-riset ilmu-ilmu murni, BJ Habibie memilih penerapan iptek dengan membangun industri berbasis iptek terlebih dahulu, baru kemudian industri itu akan diperkuat dengan riset-riset ilmu-ilmu dasar dan terapan yang mendasari industri tersebut.<br />
<br />
Pendekatan yang sama bisa dipakai untuk unschooling anak-anak kita. Sekolah pada umumnya dibangun atas asumsi bahwa anak-anak perlu dibekali dengan segala macam ilmu pengetahuan untuk bekal mereka kelak. Itulah sebabnya makin lama sekolah makin sarat beban, kemajuan ilmu pengetahuan yang demikian pesat memaksa sekolah-sekolah kita menjejali otak anak-anak kita dengan apapun yang mereka pandang perlu. Maka tidak aneh kemudian kalau muncul kelas-kelas akselerasi, sekolah-sekolah berstandar internasional, dan seterusnya. Apakah itu efektif? Kalau Anda jujur, Anda akan tahu jawabnya. Cobalah untuk menjawab pertanyaan sederhana ini : ”Pelajaran sekolah apa yang saat ini benar-benar Anda gunakan dalam hidup?” Atau : ”Apa yang masih Anda ingat dari pelajaran sekolah dulu?” Nyaris tidak ada!<br />
<br />
Mengapa hal ini terjadi? Sebabnya jelas : para ahli <em>neuroscience</em> mengungkapkan bahwa segala macam data yang masuk ke otak kita kalau tidak digunakan akan dianggap sampah dan karenanya akan dihapus dari memori kita. Juga penelitian terbaru menyatakan bahwa pembelajaran akan efektif kalau itu bermakna dan memunculkan antusiasme dari pembelajar.<br />
<br />
Untuk memudahkan saya akan memberikan contoh sederhana. Lazimnya orang tua sangat bangga kalau anaknya mampu membaca pada usia dini. Lazimnya pula mereka akan mengawalinya dengan pelajaran mengeja (dengan berbagai metode yang ada), setelah agak lancar mereka memberinya buku-buku khusus untuk anak yang sedang belajar membaca, lalu buku-buku atau majalah anak-anak. Ini adalah pendekatan khas sekolahan.<br />
<br />
Lalu bagaimana pendekatan <em>unschooling</em>? (paling nggak versi saya). Pertama harus dipahami untuk apa anak bisa membaca? Anda jangan ketawa dulu, sebab ini adalah pertanyaan krusial. Sebab betapa banyak anak atau bahkan orang dewasa yang bisa membaca tapi sesungguhnya “buta huruf”. Maksud saya mereka tidak dengan maksimal menggunakan kemampuannya itu untuk membaca. Berapa banyak yang kemudian yang tidak mempunyai budaya membaca? Jadi ya, ngapain diajari membaca pada usia dini kalau pada akhirnya kemampuannya itu tidak membuatnya keranjingan melahap buku-buku. Khan saya kalau kemampuan itu digunakan hanya untuk membaca papan nama jalan, petunjuk arah, papan nama toko, . . . .? Jadi menurut saya <em>absurd</em> kalau ada orang tua bersusah payah mengajari membaca anaknya yang masih bayi, tapi mereka tidak punya perpustakaan keluarga atau bahkan tidak suka baca koran atau majalah yang dapat merangsang tumbuhnya budaya baca?<br />
Nah, dalam <em>unschooling</em> lebih penting untuk menanamkan atau memaparkan budaya membaca dari pada susah payah mengajari membaca. Sebab saat anak-anak mulai muncul kecintaannya atas bahan-bahan bacaan, kemampuan membaca akan muncul dengan sendirinya atau butuh upaya lebih sedikit untuk ”mengajarinya.”<br />
<br />
Alih-alih mengajari membaca, kami tidak melakukan apapun. Namun rumah kami memang dipenuhi oleh berbagai macam buku. Anak kami yang pertama (saat itu berumur 7 tahun) tertarik dengan majalah atau buku yang kami baca. Dia melihat kami membicarakan isi buku, berdebat, atau terlihat santai menikmati bacaan. Dia mulai membuka-buka majalah, ensiklopedi, komik dan sesekali menanyakan kata-kata tertentu. Hal itu dilakukannya terus-menerus dan saya tidak tahu kenapa tiba-tiba hanya dalam waktu tiga bulan dia sudah lancar membaca.<br />
<br />
Anak kedua kami lain lagi. Sama dengan anak pertama, dia sangat suka pada buku atau majalah walaupun belum bisa membaca. Kami membelikannya beberapa komik, dan ”membacanya” dengan cara menginterpretasikan gambar. Sering kali dengan suara keras dia “membacakan” isi komik itu pada anak kami yang ketiga. Melihat gayanya kita tidak akan menyangka bahwa dia belum bisa membaca. Nah, lama kelamaan dia menyadari bahwa itu bukanlah kegiatan membaca yang sebenarnya, dia lalu meminta kami mengajarinya membaca. Tidak butuh waktu lama untuk mengajarinya.<br />
Dan hal ini lazim terjadi pada anak-anak yang <em>unschooling</em>.<br />
<br />
Itulah yang saya maksud dengan berawal di akhir dan berakhir di awal. Dalam hal ini, kami mengawalinya dengan segala macam bahan bacaan untuk menumbuhkan budaya membaca. Setelah timbul ketertarikan barulah mengajari cara-cara membaca yang lazim (untuk beberapa kasus bahkan tidak perlu diajari). Dengan cara itu pelajaran membaca menjadi bermakna. Anak-anak itu ingin segera bisa membaca agar bisa menikmati komik dan buku kesayangannya.<br />
<br />
Prinsip yang sama bisa digunakan untuk mempelajari “materi-materi” sekolahan. Saya menggunakan pendekatan yang sama untuk mengenalkan iptek pada anak saya. Saya gunakan robot LEGO <em>Mindstorm</em> (yang hampir setiap anak suka) untuk mengenalkan prinsip-prinsip matematika, fisika-mekanika, pemrograman komputer. Lewat kegiatan membangun robot ini anak-anak akan memecahkan masalah dengan prinsip-prinsip matematika, fisika, dan logika. Sekali lagi, karenanya pembelajaran akan menjadi bermakna.<br />
<br />
Bagaimana dengan bermusik? Sama juga. Akan sangat membosankan kalau kita harus belajar baca not, teori-teori musik , tanpa langsung memainkan musik. Itulah yang diajarkan di sekolah waktu saya SMP dulu. Kita tahu teori-teori musik, tapi tidak bisa memainkan dan menikmati musik.<br />
Sebagian dari Anda mungkin pernah belajar gitar dari teman sepermainan. Apakah mereka mengajari cara membaca not dulu? Saya yakin tidak. Bukankah Anda langsung memainkan lagu tertentu yang sedang populer saat itu? Yang kita lakukan adalah hanya mempelajari kunci-kunci nada tertentu berikut cara memetiknya yang dibutuhkan untuk memainkan lagu itu bukan? Kemudian kemampuan kita akan semakin berkembang seiring dengan banyaknya lagu-lagu yang bisa kita mainkan. Nah, kalau serius, kita bisa mengembangkan kemampuan bermusik dengan mempelajari teori-teori.<br />
Prinsip ini bisa kita gunakan untuk mengenalkan ilmu-ilmu yang lazim diajarkan di tingkat perguruan tinggi. Sama seperti sekolah, perguruan tinggi juga menjejali dengan segala macam ilmu yang dianggap perlu. Akibatnya lulusannya malah <em>keblinger</em> . Kebanyakan ilmu tapi tidak bisa berbuat sesuatu. Dari sekian banyak yang dipelajari pada akhirnya sedikit yang dipakai di dunia kerja atau masyarakat.<br />
<br />
Bagaimana kami menerapkan prinsip ini? Kami melibatkan anak-anak kami pada bidang yang kelak kami perkirakan bakal menjadi solusi bagi permasalahan di masa depan. Kami memulainya dengan keprihatinan pada lingkungan, masalah-masalah energi dan pangan. Untuk <em>unschooling </em>anak-anak kami, kami memilih bidang pertanian. Tepatnya pertanian berkelanjutan dan terpadu. Nah, kami tidak tahu minat anak-anak kami pada akhirnya, tetapi implikasi keilmuan dari pertanian terpadu itu sangat luas : ilmu genetika, mikrobiologi, pemuliaan hewan dan tanaman, sampai pada teknologi energi terbarui. Kami mengawalinya pada tataran praktek, terlibat dalam pengelolaan pertanian terpadu dan berkelanjutan kemudian berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini : bagaimana menghasilkan pupuk organik modern di masa kelangkaan pupuk kimia karena terbatasnya minyak dan gas bumi?, bagaimana menyediakan pangan tanpa harus merusak lingkungan, bagaimana memanfaat biomas sebagai energi? Juga ganggang? Bagaimana memanfaatkan limbah pertanian sebagai pakan ternak dengan memanfaatkan mikroorganisma? Potensi apa yang bisa dimunculkan dari desa-desa disekitar kami? Bagaimana mengelola sampah jadi energi? Apa tantangan pertanian organik di masa depan? Bagaimana sistem pemasarannya? Apa filosofi yang mendasari gerakan pertanian organik?<br />
Kami akan mengakhirinya dengan mencari jawabannya lewat ilmu-ilmu dasar dan tak jadi soal apakah untuk itu harus kuliah ataukah cukup <em>ngobrol </em>dengan doktor-doktor yang ada di lingkungan kota kami.(###)<br />
<br /></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-29558616925904224732009-03-19T11:34:00.000+07:002013-04-12T09:56:37.679+07:00Bagaimana Kami Bisa Begitu Yakin?<div style="text-align: justify;">
Saat memulai <span style="font-style: italic;">unschooling</span>, banyak orang mempertanyakan apakah <span style="font-style: italic;">unschooling</span> bisa berhasil. Beberapa orang bilang kami “orang gila”. Kami telah melalui perjalanan yang panjang untuk sampai pada pilihan meng-<span style="font-style: italic;">unschooling</span>-kan anak-anak kami.<br />
Semua itu bermula saat anak tertua kami memasuki usia taman kanak-kanak. Anak kami tidak diterima dimana-mana, dia didiagnosis ADD (<span style="font-style: italic;">Attention Deficit Disorder</span>), perilakunya yang tidak bisa diatur-atur, mengikuti kemauannya sendiri, rupanya membuatnya ditolak. Untunglah kemudian ada sebuah TK yang mempunyai pendekatan berbeda mau menerimanya.<br />
<br />
Peristiwa itu kemudian mengantarkan kami pada dunia pendidikan. Kami mulai berpikir bahwa selepas TK nanti, kesulitan serupa (untuk masuk SD) bakal terulang. Kami melahap semua pemikiran mengenai pendidikan : mulai dari Revolusi Cara Belajar, <span style="font-style: italic;">Multiple Intelegence</span>-nya Howard Gardner, buku Thomas Amstrong. Dan tak dinyana pengetahuan kami tentang dunia pendidikan membawa kami untuk mendirikan sekolah alternatif dengan memakai pendekatan <span style="font-style: italic;">Multiple Intelegence</span>. Kami makin bersemangat setelah mengetahui bahwa pemerintah lewat Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK (yang kemudian menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP) sedikit banyak sejalan dengan apa yang kami idamkan.<br />
<br />
Setelah sekolah kami berjalan kurang lebih 3 tahun kami mulai merasakan adanya kesulitan-kesulitan. Bagaimana KBK/KTSP yang begitu maju ternyata tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan. Ada kesenjangan sangat besar antara konsep-konsep KBK/KTSP dengan kesiapan birokrasi, sumber daya guru, pola pikir dan lain sebagainya. Belum lagi diperparah dengan adanya Ujian Nasional.<br />
Sangat sulit mendidik guru yang mampu mengajar dengan cara-cara baru sementara selama bertahun-tahun mereka terpapar dengan metode pengajaran konvensional. Bagaimana KBK/KTSP yang demikian maju kemudian tereduksi semata-mata bagaimana caranya agar murid lulus Ujian Nasional?<br />
<br />
Pengalaman mengantarkan kami pada sebuah kesimpulan bahwa <span style="font-style: italic;">multiple intelegence</span> sangat sulit diterapkan dalam sistem kelas. Kalaupun bisa biayanya sangat mahal.<br />
Pengalaman bikin sekolah pada akhirnya membuat kami sampai pada perenungan mendalam tentang makna pendidikan itu sendiri: apa yang diajarkan oleh sekolah? Bagaimana mengajarkan visi? semangat? kreatifitas? kecintaan belajar? tentang hidup itu sendiri?<br />
Kemudian kami melihat balik hidup kami : bagian mana dari sekolah yang hari ini bermanfaat bagi kami? Sangat mengejutkan bahwa sangat sedikit dari apa yang diajarkan sekolah yang relefan dengan hidup kami saat ini. Disekeliling kami sangat banyak contoh betapa ternyata apa yang mereka pelajari semasa sekolah/kuliah tidak berkaitan dengan profesi atau hidup mereka namun ternyata mereka berhasil?<br />
Ya, kami simpulkan bahwa mereka sukses karena mereka punya <span style="font-weight: bold;">kemampuan untuk belajar secara</span> <span style="font-weight: bold;">mandiri</span>. Sementara mereka yang kemampuan belajar mandirinya telah mati karena pengaruh sekolah, tidak menjadi apa-apa. Logikanya sejauh mereka tahu cara bagaimana cara belajar secara mandiri, mereka tidak butuh sekolah.<br />
<br />
Kami makin percaya diri setelah pengamatan kami menunjukkan semakin banyak orang yang berhasil tanpa terkait dengan pendidikannya. Bagaimana sebuah sekolah alternatif seperti Sekolah Alam yang memakai pendekatan pendidikan mutahir bisa digagas oleh seorang Lendo Novo yang tamatan ITB dan bukannya sarjana pendidikan? Bagaimana sebuah gerakan pertanian organik (yang merupakan pertanian masa depan) bisa digerakkan oleh seorang pastor? dan bukannya seorang sarjana pertanian? Bagaimana seorang sarjana teknik mesin yang menerjuni bidang pertanian sempat dikira sebagai sarjana pertanian karena pengetahuaannya akan isu-isu dunia pertanian? Bagaimana seorang Yanti yang sarjana farmasi bisa berkiprah di dunia pendidikan dengan intens dan menguasai isu-isu mutahir dalam pendidikan?<br />
Bagaimana seorang sarjana teknik kelautan ternyata berhasil berkiprah di dunia TI dengan berbisnis content provider untuk perusahaan telekomunikasi?<br />
Daftarnya saya yakin akan semakin panjang kalau kita rajin mengamati apa yang terjadi di lingkungan kita.<br />
<br />
Sampai pada akhirnya pencarian kami mengantarkan pada Summerhill dan Sudbury Valley School. Inilah sekolah yang benar-benar membawa konsep baru dan “mengejutkan” (belakangan kami tahu bahwa sekalipun menamakan diri sekolah, mereka memakai pendekatan unschooling). Di kedua sekolah ini, murid bebas untuk melakukan apapun, belajar apapun, kapanpun, bahkan “<span style="font-style: italic;">do nothing</span>”. Summerhill yang berdiri sejak 1921 dan Sudbury yang berdiri sejak 1969 ternyata menghasilkan lulusan yang tidak seperti diperkirakan orang : “Jadi apa anak-anak itu, kalau mereka hanya main-main dan tidak ada pengarahan sama sekali”. Lulusan sekolah itu (kalau bisa disebut lulusan, sebab mereka tidak mengenal kelas- kelas, tidak ada ijasah) ternyata hidup wajar sebagai warga masyarakat. Ada yang jadi profesor, dosen, ilmuwan, ahli mekanik, juru masak, politisi, dan sebagainya<br />
<br />
Sebagai orang tua tentu kami ingin anak-anak kami berhasil dalam hidup. Masalahnya kami tidak yakin bahwa sekolah mengajarkan apa yang kami harapkan diajarkan pada anak-anak kami. Bagaimana mengatasi kegagalan? Bagaimana berkarya dalam masyarakat? Bagaimana bekerja untuk sesuatu yang dibutuhkan dimasa depan? Bagaimana cara berpikir? Bagaimana mencintai? Bagaimana berjuang?<br />
Disisi lain kami tidak mau membebani otak anak-anak kami dengan segala sesuatu yang kelak bakal menjadi sampah bagi otak mereka (dan karena itu secara alami otak mereka akan menghapus data itu).<br />
<br />
Sekolah telah mendikte anak-anak kita akan apa yang dipandang penting, apa yang perlu mereka pelajari, dan bahkan menjadi apa mereka kelak.<br />
Sekolah banyak membuang-buang waktu dan biaya. Mengapa belajar teknik berhitung bahkan sampai mencongak segala kalau ternyata ada kalkulator? Dalam kenyataan di masyarakat kita adakah orang dewasa yang mencongak untuk bahkan operasi matematika sederhana? Untuk apa kita harus menghapal rumus kalau dalam hidup sebenarnya kita boleh buka buku? Untuk apa kita belajar menghapal sesuatu kalau ternyata dalam kenyataan sehari-hari kita bahkan tidak perlu menghapal? Untuk apa belajar logaritma kalau dalam kenyataannya tidak pernah digunakan? Banyak muatan sekolah yang terlalu canggih, terlalu sarat beban, terkadang dimulai pesan-pesan politik (ingat bahwa materi tentang pembangunan pertanian Orde Baru yang menganut paham revolusi hijau seperti Bimas/Inmas diintrodusir lewat sekolah, belakangan kita tahu bahwa revolusi hijau adalah penindasan gaya baru).<br />
Meminjam pernyataan sang pendiri sekolah <span style="font-style: italic;">Qaryah Thoyyibah</span> : “Mengapa menyekolahkan anak-anak desa itu, kalau nantinya mereka akan pergi ke kota untuk mencari nafkah dan meninggalkan desa yang makin tertinggal?”<br />
Sekolah di desa-desa bahkan bisa mendorong arus urbanisasi, sebabnya jelas karena sekolah tidak mengajari mereka untuk melihat realitas sekeliling dan bertindak atas realitas itu.<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Lantas Bagaimana Mereka Belajar?</span><br />
<br />
Saya tercengang ketika tahu bagaimana sejarah sekolah itu sesungguhnya. Bahwa sekolah dalam bentuknya seperti sekarang ternyata baru berumur kurang lebih 150 tahun. Artinya sebagian besar masa peradaban kita dibangun tanpa mengenal institusi sekolah. Sekolah baru ada selepas Revolusi Industri dan disiapkan untuk mempersiapkan kelas pekerja untuk masa itu.<br />
Itu artinya umat manusia sebenarnya telah terbukti mampu belajar mandiri tanpa adanya pewajiban dan institusionalisasi sekolah. Jadi merupakan suatu hal yang absurd kalau kita meyakini bahwa proses pembelajaran hanya bisa berlangsung di sekolah.<br />
Terlalu lama terkooptasi oleh sekolah membuat kita mengukur segala sesuatu yang terkait dengan pembelajaran menurut terminologi sekolah. Dan juga kehilangan cara-cara belajar yang sesungguhnya sederhana dan alami. Secara alami manusia akan mampu belajar untuk mengatasi apa yang ada di depannya. Bayi belajar bicara, berjalan, menunjukkan emosinya tanpa terlalu jauh melibatkan orang tuanya. Pernahkan kita mengajari anak kita berbicara atau berjalan dengan sengaja? Semua pembelajaran itu terjadi begitu saja, mengalir seperti hidup, lewat interaksi dengan orang-orang terdekatnya. Jadi begitu juga dengan anak-anak <span style="font-style: italic;">unschooling</span>. Mereka akan <span style="font-weight: bold;">belajar apapun yang mereka butuhkan tepat pada waktunya</span>.<br />
<br />
Anak tertua saya mampu membaca tanpa ada yang mengajari. Itu terjadi pada umur 8.5 tahun, disaat ia merasa bahwa dengan membaca ia akan memperoleh banyak hal : kesenangan, hiburan, pengetahuan, . . . . Disaat ia tahu bahwa ia harus bisa membaca jika ia ingin paham cerita Detektif Conan, ingin tahu cara mobil balap dibuat, . . . . .ingin membaca Majalah Angkasa milik ayahnya . . . . <br />
Ia menguasai ketrampilan membaca dalam waktu 3 bulan dan nyaris tidak seperti cara membaca anak-anak usia SD pada umumnya . . . . .<br />
Anak kedua saya yang berumur 8 tahun mempunyai jiwa musik yang sangat natural, ia memainkan lagu <span style="font-style: italic;">Fur Elise</span> di <span style="font-style: italic;">keyboard</span> hanya dengan memperhatikan bagaimana jari-jari tangan ditekankan pada serangkaian <span style="font-style: italic;">tuts</span> pada <span style="font-style: italic;">keyboard</span>.<br />
Sementara anak ketiga saya yang berumur 6 tahun, punya jiwa musik juga namun polanya lebih terstruktur. Dia tidak tahu bagaimana not balok harus dilafalkan (do-re-mi-fa- . . .) tetapi anehnya dia bisa membaca not balok dengan mengaitkannya pada tuts keyboard. Alhasil dia bisa memainkan sebuah komposisi lagu lewat pemahaman bahwa not balok tertentu menempati posisi tertentu pada <span style="font-style: italic;">tuts keyboard</span>. Sementara teman kursusnya masih berkutat pada bagaimana cara melafalkan not balok . . . . . .<br />
<br />
Semua contoh di atas bukanlah kasus anak-anak dengan kemampuan tertentu/berbakat. Setiap anak terlahir dengan kemampuan belajar menurut cara mereka sendiri. Mereka akan belajar dengan suatu cara yang mungkin kita anggap luar biasa kalau mereka dibiarkan tanpa intervensi dari luar.<br />
<br />
Jadi dengan melepaskan diri dari terminologi pembelajaran versi sekolah, kita akan mampu mengamati bahwa mereka sesungguhnya telah mempelajari sesuatu . . . .<br />
Dengan mengamati anak-anak kita : bagaimana mereka berbicara dan mengungkapkan pendapat, bagaimana mereka mengamati sesuatu, bagaimana mereka berpikir dan menarik kesimpulan, . . . niscaya kita akan dibuat kagum.<br />
Syaratnya hanyalah kesediaan kita untuk mendampingi mereka, menjawab pertanyaan mereka, menunjukkan jalan bagi mereka, selebihnya biarlah alam yang membimbing mereka.<br />
<br />
<span style="font-weight: bold;">Bagaimana Dengan Masa Depan?</span><br />
<br />
Salah satu efek terburuk sekolah adalah : kita tidak tahu bahwa hidup menyediakan kemungkinan-kemungkinan yang luas untuk menjalaninya.<br />
Akibat terkooptasi oleh sekolah kita yakin bahwa sekolah adalah satu-satunya jalan untuk sukses dalam hidup, satu-satunya jalan untuk dapat diterima dalam masyarakat. Kita merasa aman dengan menyerahkan sepenuhnya nasip anak-anak kita pada sekolah, nyaris tanpa keterlibatan kita. Diam-diam kita merasa senang bahwa sebagian tanggung jawab telah beralih dari pundak kita. . . . .<br />
<br />
Kalau kita mau jujur kita akan menyadari bahwa ternyata sebagian besar hal-hal yang perlu untuk hidup ternyata dipelajari di luar sekolah. Jadi kenapa harus membuang waktu 12 tahun untuk mempelajari sesuatu yang kurang relefan dalam hidup?<br />
Apakah itu berarti anak-anak kami tidak akan masuk semacam kursus atau mendapat ijasah SD-SMP-SMU? Jawabnya adalah : Mungkin!<br />
Dalam <span style="font-style: italic;">unschooling</span> intinya bukanlah sekolah atau tidak sekolah, melainkan pilihan untuk mempelajari sesuatu ada pada anak-anak. Kalau anak-anak kami hanya ingin belajar komputer mereka boleh ikut kursus . . . Seandainya mereka ingin jadi dokter, insinyur, atau apapun yang mengharuskan adanya ijasah, maka saya akan tunjukkan caranya (berikut konsekuensinya).<br />
<br />
Saya akan katakan pada anak saya bahwa mereka bisa mendapatkan ijasah sama seperti rekan mereka yang bersekolah dengan cara yang lebih mudah dan “cerdas”. Masyarakat kita sangat mengagungkan ijasah, jadi mengapa kita tidak “mensiasatinya”? Kalau lewat Ujian Persamaan kita bisa dapatkan ijasah, kenapa harus lewat sekolah?<br />
Kalau untuk mendapat ijasah Paket A (setara SD) bisa ditempuh 1 tahun dengan belajar cara-cara menjawab soal, kenapa membuang waktu 6 tahun? Untuk dapat ijasah Paket C (setara SMU) paling lama perlu waktu satu tahun, jadi kenapa harus menempuh tiga tahun?<br />
<br />
Saya akan katakan pada anak-anak saya bahwa pendidikan nasional kita saat ini bertujuan untuk bagaimana caranya menjawab soal-soal ujian, dan itu bukan esensi pendidikan yang sebenarnya, jadi untuk apa buang waktu 12 tahun hanya untuk belajar bagaimana caranya menjawab soal-soal ujian?<br />
Kita akan mensiasatinya dengan berlatih secara intensip cara-cara menjawab soal lewat berbagai bimbingan belajar yang ada. Total waktu yang diperlukan untuk itu paling lama tiga tahun, dan itu harga yang harus dibayar.<br />
Kalau rekan-rekan sekolah mereka harus melalui 12 tahun “masa penderitaan” , anak-anak kami paling lama hanya melalui masa itu selama 3 tahun dengan intensitas “penderitaan” yang jauh lebih kecil. Jadi 9 tahun waktu mereka dapat digunakan untuk sesuatu yang lebih berharga (dan lebih bahagia tentunya).<br />
Semua itu bukan cara-cara ilegal, melainkan legal sepenuhnya. Jadi saya tidak kuatir soal ini.<br />
<br />
Alternatif yang juga menarik adalah program magang. Saya sangat yakin bahwa dimasa depan, seseorang akan lebih dihargai karena kemampuannya, dan bukannya latar belakang ijasahnya (ingat cerita sarjana kelautan yang bekerja di bidang teknologi informasi). Jadi mengapa menunggu 12 tahun untuk mewujudkan cita-cita atau berkarir pada bidang tertentu? Kenapa tidak mempersiapkannya saat ini?<br />
Anak pertama saya tertarik dengan robotika. Maka saya tunjukkan padanya bahwa walaupun yang dia lakukan dengan robot saat ini seperti mainan, tapi kegiatan itu juga ditekuni oleh orang dewasa. Implikasinya sangat luas. Dia bisa berbisnis robot mainan itu sendiri, menekuni ilmu tentang robot, atau mendalami bahasa pemrograman. Setelah cukup umur dia boleh bekerja tanpa dibayar dengan imbalan pertukaran ilmu.<br />
Anak kedua saya juga tertarik dengan sapi perah dan cocok tanam hidroponik kami. Jadi dia akan sering main di komplek pertanian terpadu milik pamannya, dan dia boleh membantu pamannya disana. Ada sangat banyak yang bisa dia pelajari : tentang peternakan dan pertanian organik, bagaimana membuat pestisida alami, bagaimana membuat kompos, bagaimana membuat biogas, pemuliaan tanaman dan ternak, mengelola hasil panen, pemasarannya, dan bagaimana memperluas proyek itu agar diterapkan oleh masyarakat . . . . . . . . .<br />
Atau dia bisa belajar dari seorang peternak sapi perah yang mulanya hanya punya 4 ekor sapi dalam lima tahun telah menjadi 200 ekor sapi, punya armada truk susu sendiri, . . . .<br />
Itu lebih masuk akal bagi saya, uang biaya sekolah yang mahal itu cukup untuk memulai bisnis mereka sendiri. (###)</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1182157697929687885.post-63021716236805889222009-03-06T16:29:00.000+07:002013-04-12T09:58:19.385+07:00Memerdekakan Remaja<div style="text-align: justify;">
Mantan guru sekolah Grace Llewellyn meyakini bahwa seseorang akan belajar dengan performa terbaiknya jika mereka termotivasi dan sebenarnya tidak membutuhkan kurikulum formal. Seperti halnya John Taylor Gatto, dia adalah penganjur <span style="font-style: italic;">unschooling</span> –sebuah pendekatan yang memberikan kebebasan pribadi untuk mengeksplorasi minat.<br />
<br />
Dalam bukunya <span style="font-style: italic;">The Teenage Liberation Handbook</span>, Llewellyn mendesak anak-anak muda berpikir tentang diri mereka dan mengembalikan kemampuan belajar alami mereka. Dia bahkan menganjurkan anak-anak muda itu untuk keluar sekolah, mendesain program pendidikan mereka sendiri dan menjalani “hidup yang sebenarnya”.<br />
<br />
Buku Llewellyn tersebut dilengkapi dengan ide-ide bagus yang menunjukkan bagaimana cara agar anak-anak remaja mampu belajar secara mandiri terkait dengan sains, matematika, ilmu sosial, Bahasa Inggris, bahasa asing, dan seni. Dia menunjukkan sumber-sumber penting dan juga saran-saran memasuki dunia kerja termasuk bagaimana caranya memasuki perguruan tinggi. Llewellyn menegaskan bahwa berlawanan dengan yang selama ini dikatakan pada mereka, hidup mereka tidak akan sia-sia jika mereka meninggalkan sekolah.<br />
<br />
Inilah beberapa kutipan dari kalimat Llewellyn :<br />
<br />
“Buku ini dibuat dengan dasar . . . .keyakinan mendalam akan kebebasan . . .mengapa kita harus memiliki kebebasan? Untuk menjadi manusia, untuk hidup bermakna. Sepanjang kita hidup dari apa yang didiktekan orang pada kita, kita tidak benar-benar hidup. Pilihan adalah masalah mendasar dalam hidup, dan dalam hidup yang sangat bermakna, tiap pilihan dihargai.”<br />
<br />
“Peringkat baik adalah candu. Kita mulai tergantung padanya saat mengukur nilai-nilai pribadi kita, dan nyaris mustahil untuk melakukan apapun yang akan merugikan “peringkat baik” tersebut. Kalau kita memiliki peringkat baik pada saat yang sama harus ada yang kita korbankan, dan karenanya kita tidak akan berani mengambil resiko. Padahal sesuatu yang terbaik dalam hidup sering kali datang dari keberanian kita untuk mengambil resiko.”<br />
<br />
“Pemeringkatan mengaburkan arti pendidikan. Patrick Meehan, <span style="font-style: italic;">unschooler</span> berumur 14 tahun, menulis pada Llewellyn, : Pemberian peringkat meletakkan fokus yang salah dalam pembelajaran. Peringkat mengarahkan pelajar pada kompetisi dan belajar untuk suatu alasan yang salah : untuk meninggikan peringkat daripada menjadi terdidik.”<br />
<br />
“Minat . . . muncul dari kebebasan . . . . minat adalah kebiasaan yang bersifat aktif. Hal itu membutuhkan kebebasan untuk menjelajah. Butuh kebebasan untuk menonton TV dengan remote control dan berpindah antar kanal sekehendak hati. Butuh kebebasan untuk mengontrol “berita-berita ilmu pengetahuan” dan berhenti hanya jika kita menghendakinya. . . . . . . Minat akan tertahan jika tidak dibiarkan berkembang sesuai dengan kecepatannya sendiri.” (###)</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/09591066418901437835noreply@blogger.com0